What we have to do is to find a way to celebrate our
diversity and debate our deference
without fracturing our communities
(Hillary Clinton)
Apa yang harus dilakukan
adalah menemukan cara untuk merayakan perbedaan
dan mendiskusikan perbedaan
tanpa memecah belah komunitas kita
Jagad raya dan seisinya
merupakan ciptaan Allah SWT yang memiliki pesona keanekaragaman yang sangat menakjubkan.
Sebagai sesama anggota tata surya, bumi tempat kita hidup jauh berbeda dengan
bulan dan matahari, dan anggota tata surya yang lainnya. Begitu pula dengan
bintang gemintang yang bertebaran di dalam jagad raya ini. Walaupun memiliki
kesamaan kita tidak akan mengelak tentang pesona kemajemukan dan kemanfaatannya
bagi kehidupan manusia. Dengan kemajemukan itu bisa kita rasakan dalam hubungan
persahabatan.
Tidak mudah membina suatu hubungan persahabatan. Kadang niat baik belum tentu diterima dengan baik oleh sahabat kita karena salah dalam berkomunikasi. Kesalahan tersebut bisa jadi karena kita kurang paham terhadap budaya dari daerah asal sahabat kita. Padahal jika kita bisa memahami kita akan mendapatkan sahabat yang sangat banyak dan kita akan diterima oleh sahabat darimanapun mereka berasal.
Tidak mudah membina suatu hubungan persahabatan. Kadang niat baik belum tentu diterima dengan baik oleh sahabat kita karena salah dalam berkomunikasi. Kesalahan tersebut bisa jadi karena kita kurang paham terhadap budaya dari daerah asal sahabat kita. Padahal jika kita bisa memahami kita akan mendapatkan sahabat yang sangat banyak dan kita akan diterima oleh sahabat darimanapun mereka berasal.
Pengalaman Paling Berkesan di Pesantren dan Asrama tentang Bhineka Tunggal Ika
Saya tinggal di
sebuah pesantren putri di Yogjakarta sekitar 17 tahun yang lalu. Namanya pesantren putri
Innayatullah. Jaraknya agak jauh dari kampus. Butuh naik bus dua kali dan
sekitar 1 jam perjalanan baru sampai. Rata-rata penghuninya adalah mahasiswa
dari berbagai kampus dan berbeda daerah. Ada yang berasal dari Nusa Tenggara Barat, Sumatra, Sulawesi,
Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Saya
memilih tinggal disitu karena murah sebulan Rp. 65.000,00 sudah dengan makan
dan tempat tinggal ditambah mendapatkan pelajaran agama di malam hari dan pagi
hari setelah Subuh. Padahal jika saya kos saja belum sama makan di sekitar
kampus sekitar Rp. 1.000.000,00 per tahun. Memang, kami sendiri yang masak
tetapi tidak setiap hari. Sudah terjadwal rutin dan setiap mahasiswa
mendapatkan tugas masak seminggu satu kali..
Dalam pergaulan
sehari-hari, tentu saja sering sekali terjadi ketidaksesuaian dalam
berkomunikasi karena kami berasal dari daerah yang berbeda. Tetapi karena saya
mempunyai prinsip “Satu musuh sudah sangat banyak dan seribu teman masih
kurang”, saya mencoba memahami karakteristik dari teman-teman saya. Saya tidak
ingin terjadi salah paham karena ketidaktahuan saya tentang budaya mereka.
Menurut saya, dari
sejumlah mahasiswa yang tinggal bersama, secara umum memiliki karakter khusus. Misalnya saja, beberapa teman saya yang
dari dari Jawa Tengah tepatnya Temanggung dan Magelang, sifat menonjol yang dimiliki adalah pemalu dan lebih penurut. Mereka tidak
ingin beradu pendapat dengan yang lain. Akan tetapi, mereka juga sangat tekun
dalam menghadapi sesuatu. Nah, dari karakteristik tersebut saya fokuskan ketika
dapat jadwal masak dengan mereka kita memposisikan sebagai ketua yang membagi
tugas. Mereka akan berkata, “Terserah kamu aja lah pembagiannya”. Dan cara itu
cukup efektif dan efisien.
Meskipun Wonosobo masuk dalam area Jawa Tengah, teman
saya dari daerah ini merupakan pengecualian. Bahasa Ngapak menjadi identitas
mereka. Jangan heran, jika sesama mahasiswa Wonosobo bertemu. Mereka secara
otomatis ngobrol denga bahasa Ngapaknya yang lumayan nyaring dan terdengar unik
karena intonasinya. Pendekatan yang paling mudah adalah ketika sedikit-sedikit
saya juga memakai bahasa mereka dalam berkomunikasi, mereka akan senang dan
membuat kita lebih akrab. Dan jangan heran ketika mereka dengan senang hati memasak
tempe kemul dan mie ongklok, makanan khas Wonosobo untuk kita ketika keakraban
sudah mulai tumbuh.
Berbeda lagi dengan teman saya yang berasal dari Banyuwangi,
Jawa Timur. Meskipun masih disebut dengan keturunan Jawa, mahasiswa dari
Jawa Timur mendapatkan stereotip yang berbeda. Mereka dianggap orang yang kasar
karena bahasanya. Memang orang Jawa Timur ini tegas. Mereka sering dianggap
menjunjung tinggi harga dirinya. Jadi agak kesulitan dalam hal kerjasama.
Sehingga dengan teman yang satu ini saya cenderung memposisikan menjadi anak
buah. Kalau dia berkata agak kasar saya mencoba untuk tidak sakit hati. Saya
berfikir begitulah cara dia berbicara. Saya kedepankan berfikir positif.
Akhirnya dia berkata, “Enak ngomong sama kamu nggak tersinggungan”. Nah kalau
dah dekat ternyata orangnya juga mudah diberi masukan. Misalnya, “Mbak kalau
berbicara volumenya diturunkan ya agar saya tidak kaget mendengarnya”.
Walaupun dalam hal kebersihan dan tugas memasak sering
terjadi perbedaan dan masalah, akan tetapi dalam urusan mengaji kita bisa
kompak. Setiap mau berangkat ke madrasah menjelang maghrib kami selalu saling menunggu
dan saling mengingatkan. Memang ada yang bisa cepat dan adapula yang lambat.
Bagi saya menunggu mereka merupakan latihan sabar. Begitupun ketika mau pulang,
yang sudah setoran hafalan atau tugas ke Ustadz tidak pulang lebih dulu tetapi
menunggu sampai semua selesai. Indah sekali mengingat semangat belajar Alquran
dan Hadis waktu itu. Selama menunggu kita biasanya saling bercerita.
Memang, keragaman budaya dari berbagai daerah memiliki
dimensi ganda. Sisi positif bisa mengukuhkan persatuan yang membuat
persahabatan semakin kuat, sementara sisi negatifnya bisa menyebabkan
perpecahan ketika tidak ada toleransi. Alhamdulillah
di pesantren perbedaan itu luntur dan melebur karena terkalahkan oleh tujuan
masuk pesantren yaitu mencari ilmu dan mencari ridho Allah. Setiap ada masalah
muncul yang tidak bisa terpecahkan biasanya melibatkan pihak ketiga untuk
menjadi penengah.
Kenyamanan di pesantren ternyata tidak lama saya
rasakan. Kurang dari satu tahun saya pindah ke asrama Ar-Raudhah yang letaknya
dekat kampus. Alasan saya pindah karena mencari yang dekat kampus. Karena
ketika kuliah sampai sore sudah tidak ada bus yang lewat pesantren saya
sehingga saya harus merepotkan teman saya untuk menjemput saya dari Kentungan,
Jogjakarta. Selain itu karena kecapekan dan telat makan typus saya kambuh.
AKhirnya orang tua saya kasihan dan menyuruh saya pindah.
Asrama Ar-Raudhah adalah sebuah rumah yang saya dan
teman-teman sewa untuk ditinggali bersama dan dibayar setiap tahun. Rumah
tersebut terdiri dari 7 kamar dan dihuni oleh 12 mahasiswa. Sehingga ada aturan
bahwa satu kamar harus dihuni minimal 2 orang. Penghuni asrama Ar-Raudhah
sendiri berasal dari berbagai daerah. Ada yang berasal dari Riau, Medan, Palu,
Kudus, Bekasi, Brebes, Pati, Lampung, Magelang, Palembang, Bengkulu dan
Pagaralam. Setiap ada yang1 mahasiswa yang lulus maka akan ada 1 mahasiswa baru
yang masuk untuk menggantikan.
Tidak seperti di pesantren memang, tapi suasana
keagamaan cukup kental dibanding kos-kosan pada umumnya. Tahun 2003 ketika saya
dipilih untuk menjadi ketua asrama, saya buat seperti di pesantren Innayatullah
putri. Saya buat jadwal mulai dari jadwal menyapu, mengepel, memasak nasi,
memasak air, membersihkan kamar mandi, jadwal imam sholat berjamaah, jadwal
kultum setiap habis subuh dan lain-lain. Nah, disinilah konflik muncul.
Perbedaan daerah asal ternyata mempengaruhi seseorang dalam berpendapat,
melaksanakan tugas dan kewajiban serta dalam menerima hasil keputusan
musyawarah. Sehingga sebagai ketua asrama terasa seperti tempat sampah yang
menerima banyak aduan.
Banyak masalah muncul sebenarnya dimulai dari hal-hal
kecil seperti perbedaan rasa dalam makanan, menunda-nunda tugas piket asrama,
sifat ingin menang sendiri, karakter tidak mau mendapat kritik dan saran dari
teman, mudah tersinggung dan lain-lain. Kisah-kisah tentang perbedaan ternyata
membuat kami saling memahami. Lama-lama konflik tentang individualisme dan
egoisme bisa diminimalisasi.
Memang butuh waktu untuk bisa memahami karakter orang
lain. Tetapi karena tujuan kita tinggal di asrama Ar-Raudhah adalah agar menjadi
mahasiswa yang lebih baik tidak hanya 3K atau kampus, kantin, kos-kosan maka
karakter kedaerahan yang bisa memecah hubungan persaudaraan pelan-pelan bisa
dihilangkan. Intinya adalah pengendalian diri dari masing-masing individu.
Tinggal bersama di asrama dengan berbagai perbedaan
mengajarkan kami mengenal berbagai karakter dan kemudian saling menghormati.
Semua penghuni asrama fokus bagaimana agar tidak sekadar menjadi mahasiswa
biasa tetapi mahasiswa yang memberi manfaat sebanyak-banyaknya. Kesibukan
kuliah, berorganisasi dan aktivitas kemasyarakatan di lingkungan asrama membuat
kami tidak begitu mempermasalahkan perbedaan karakter yang ada. Semua satu
tujuan yaitu menjadi pribadi yang lebih baik.
Keterikatan di antara kami sangat kuat. Wajar jika
banyak mahasiswa yang ingin masuk ke asrama kami. Bahkan setelah kami lulus pun
masih ada acara reuni yang rutin diadakan setiap tahun dengan membawa keluarga.
Ada beberapa hikmah tinggal di asrama dengan disiplin
yang ketat yang bisa kami rasakan hingga sekarang. Sejak tinggal di asrama
beberapa teman menyimpulkan menjadi pribadi yang lebih baik. Dari perbedaan
tersebut kami jadi belajar lebih ramah, tidak merasa bahwa daerah kami paling
baik, tidak menggunakan bahasa daerah sendiri ketika mengobrol dengan kawan se-daerah
sedangkan ada orang dari daerah lain berada di sebelah kita.
Selain itu kita juga belajar saling mengenal dan
menghargai kebudayaan daerah lain dan menjauhi kebiasaan mengolok-olok. Pelajaran
lainnya adalah belajar menghindari keegoisan dan mau menang sendiri. Terakhir
kita belajar suka menolong tanpa pernah melihat asal daerah. Ternyata memahami
perbedaan budaya mampu melahirkan sebuah kekuatan perubahan dalam berfikir dan
bersikap.
Multikulturalisme berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya). Multikulturalisme merupakan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat. Pengertian tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama :
1. Kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition)
2. Legitimasi keanekaragaman budaya atau pluralisme budaya
Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan terhadap kemajemukan budaya, yang menajdi realitas sehari-hari banyak bangsa, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai suatu ideologi yang menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua manusia. Dalam hal ini, multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi keanekaragaman budaya.
Indonesia adalah negara multikultural. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang beragam dan luas. Indonesia yang terdiri dari sejumlah etnis, budaya dan agama membuatnya menjadi negara yang plural dan heterogen. Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada bangsa Indonesia ini diikat dengan sebuah semboyan "Bhineka Tunggal Ika" yang mengandung arti berbeda-beda tetapi tetap satu.
Menjadikan Multikulturalisme sebagai Kekuatan
Multikulturalisme berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya). Multikulturalisme merupakan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat. Pengertian tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama :
1. Kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition)
2. Legitimasi keanekaragaman budaya atau pluralisme budaya
Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan terhadap kemajemukan budaya, yang menajdi realitas sehari-hari banyak bangsa, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai suatu ideologi yang menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua manusia. Dalam hal ini, multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi keanekaragaman budaya.
Indonesia adalah negara multikultural. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang beragam dan luas. Indonesia yang terdiri dari sejumlah etnis, budaya dan agama membuatnya menjadi negara yang plural dan heterogen. Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada bangsa Indonesia ini diikat dengan sebuah semboyan "Bhineka Tunggal Ika" yang mengandung arti berbeda-beda tetapi tetap satu.
Kemudian, tantangan
kita sekarang ini adalah bagaimana menjadikan multikulturalisme itu sebagai
kekuatan, yang tentunya nanti bisa membawa kita pada persatuan dan kemajuan.
Ada beberapa strategi kebudayaan agar multikulturalisme ini menjadi sebuah
kekuatan, yaitu harus ada kesadaran tentang pentingnya
multikulturalisme, yang dalam pandangan Islam adalah hukum (ketetapan) Allah..
Cara yang kedua adalah dengan mengembangkan budaya dalam masyarakat untuk
saling menghargai dan tenggang rasa.
Sebagaimana kita ketahui,
salah satu masalah yang terjadi dalam kehidupan adalah sikap dan perilaku kita
dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Padahal, perbedaan adalah menjadi
bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan ini. Masalah yang timbul dalam
kehidupan antara lain karena kita kurang cerdas menggunakan perbedaan sebagai
modal untuk membangun kekuatan dalam kehidupan.
Beda pendapat itu
pasti. Oleh karena itu, kita harus bisa menjunjung tinggi kebesaran Illahi,
yang memang telah menciptakan perbedaan sebagai rahmat yang harus kita syukuri.
Mengingkari keanekaragaman ciptaan Allah SWT tersebut sama artinya kita
mengingkari semua ciptaan Allah yang Maha Kuasa.
Contoh pengalaman
saya di masa lalu adalah contoh kecil dari kehidupan yang memiliki perbedaan
tetapi tetap bersatu karena memiliki tujuan yang sama. Jika kita berbicara
dalam konteks kebangsaan, sejarah telah membuktikan kebenarannya bahwa untuk
menjamin adanya kesatuan dan persatuan bangsa, ternyata tidak cukup menjadikan
rasa persatuan dan kesatuan itu hanya sebagai janji suci berupa sumpah pemuda.
Tidak cukup pula jika kita hanya tahu lambang Negara kita adalah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lalu bagaimana sikap
kita menghadapi perbedaan agar menjadi sebuah kekuatan bangsa?
Pertama, meyakini
bahwa perbedaan adalah satu hakikat dan keniscayaan sebagai rahmat Allah SWT.
Percayalah bahwa perbedaan itu merupakan keniscayaan. Ada yang diciptakan
sebagai laki-laki dan adapula yang diciptakan sebagai perempuan. Keduanya
memiliki perbedaan. Akan tetapi Allah telah menyatukan dalam lembaga perkawinan
yang agung.
Bagi pasangan yang
sudah menikah tentu bisa merasakan perbedaan karakter yang cukup signifikan. Saya
dan suami berasal dari daerah yang berbeda. Saya dari Jawa Tengah sedangkan
suami keturunan orang Jawa Timur walaupun tinggal di Yogyakarta. Tentu saja
mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. Tetapi kami memiliki visi dan
misi pernikahan yang sama sehingga perbedaan itu tidak akan menjadi masalah
yang berarti. Justru perbedaan akan menjadi kekuatan. Oleh karena itu, keluarga
merupakan pondasi yang pertama yang harus dibangun.
Kedua,
mencoba untuk memecahkan masalah perbedaan secara bijaksana, penuh pengertian,
saling harga menghargai, serta tanpa paksaan dan kekerasan. Orang bijak
mengatakan bahwa kita harus dapat menjadikan perbedaan sebagai modal untuk
dijadikan kekuatan. Oleh karena itu, kita harus bijak dalam bertindak, terbuka
dalam mengelola sesuatu yang berbeda.
Setelah lingkungan keluarga
kuat, kita bisa membangun kekuatan di lingkungan kerja. Dlam lingkungan dunia
kerja, kita sangat membutuhkan kekuatan tim. Bisa jadi tim kita berasal dari
orang-orang yang berasal dari suku dan agama yang berbeda. Jika tidak pandai
bekerja sama dalam perbedaan tentu kerja tim tidak akan sukses. Justru timbul
masalah baru akibat kurang bijak dalam menyikapi perbedaan.
Di lingkungan kerja
saya, saya harus bekerja sama dengan rekan guru dari suku Batak, Manado dan
dari daerah lain. Kemudian juga harus bisa kerjasama dengan berbagai penganut
agama. Jika kita tidak menyinggung hal-hal sensitif terkait suku, agama dan
golongan InsyaAllah hubungan kerja tetap terjaga dan bisa menelurkan
program-program positif demi kemajuan sekolah.
Ketiga,
menghadapi perbedaan tidak cukup hanya dengan mendiamkan tetapi perlu
dimusyawarahkan. Untuk memahami perbedaan itu, kita memerlukan data dan
informasi tentang apa yang berbeda, bagaimana perbedaannya, dan mengapa hal itu
telah berbeda. Data dan informasi itu diperlukan untuk mengetahui alasan
mengapa telah terjadi perbedaan dan juga untuk menyatukan perbedaan menjadi
kesamaan.
Di sini kita
memerlukan dialog, memerlukan musyawarah. Di sini kita memang perlu diskusi,
bahkan sah-sah saja untuk beradu argumentasi. Asal hal itu dilakukan dengan
penuh kesopanan, tidak menggebrak meja ketika menjelaskan fakta. Jika pada
akhirnya tidak terjadi kesepakatan, maka yang harus dilakukan adalah menerima
dengan tangan terbuka, dan menghargai perbedaan itu sebagaimana adanya.
Sebagai contoh ketika
saya diminta menjadi wakil dari sebuah organisasi kemuslimahan dan bergabung dalam
wadah yang lebih besar yaitu Gabungan Organisasi Wanita (GOW) tingkat
Kabupaten. Wadah tersebut terdiri dari berbagai organisasi wanita lintas partai
dan lintas ormas perempuan. Jika kita tidak membawa diri dengan baik bisa jadi
akan dimusuhi. Jadi dalam berkomunikasi pun harus mengetahui latar belakang
organisasi yang dianut oleh lawan bicara kita. Salah dalam mengeluarkan
pendapat bisa menimbulkan masalah besar di tubuh organisasi. GOW Wonosobo bisa
tetap maju jika semua anggota organisasi mematuhi tata tertib yang sudah
disepakati dan bergerak bersama demi kepentingan Kabupaten Wonosobo tanpa
menyinggung ideologi organisasi.
Keempat, menyikapi
terjadinya perbedaan dengan melalui keteladanan, bukan hanya untuk diri
sendiri, tetapi teladan bagi orang lain. Khusus untuk para pemimpin,
keteladanan itu akan menjadi pedoman bagi semua orang. Sesungguhnya keteladanan
itu harus dibentuk dari diri sendiri, dari keluarga, dan kemudian menyebar
dalam kehidupan.
Di dalam kehidupan
bermasyarakat, tentu saja kita hidup dengan berbagai level anggota masyarakat.
Ada yang berpendidikan ada juga yang tidak. Sebagai pengurus PKK, saya harus
memahami hal itu dengan baik. Keputusan yang telah disepakati dalam musyawarah
PKK, suka atau tidak suka jika itu sudah menjadi kesepakatan bersama maka kita
harus memberi keteladanan dalam menerima keputusan dengan lapang dada. Jika
kita membiasakan diri bijak dalam menerima keputusan bahkan jika usulan kita
tidak diterima, maka secara tidak langsung kita telah memberikan keteladanan
dalam menyikapi perbedaan.
Kelima,
menyikapi adanya perbedaan dengan menetapkan kebijakan, program dan kegiatan
bersama yang dirumuskan secara demokratis, transparan, terbuka, dan akuntabel.
Perbedaan memang bukan sekadar masalah teori, tetapi lebih sebagai praktik yang
memerlukan penerapan dan implementasi secara adil dan dapat menghindari
kemungkinan timbulnya prasangka dan salah duga.
Sebagai ketua MGMP
Bahasa Inggris di tingkatan Pokja, saya harus menghadapi berbagai karakter guru
dari berbagai daerah. Saya sendiri adalah pendatang di daerah tersebut. Saya
harus belajar tentang budaya daerah jika saya ingin diterima oleh semua
anggota. Saya tidak boleh putus asa untuk belajar agar memiliki jiwa
kepemimpinan yang baik sehingga program-program kerja yang telah ditetapkan
bisa terlaksana dengan baik dan didukung semua pihak. Sebaik-baiknya program
kegiatan organisasi jika cara menyampaikan kepada anggota tidak baik pasti
tidak akan diterima.
Perbedaan memang
merupakan hakikat yang pasti terjadi. Artinya, kita harus menerima takdir Allah
bahwa kita bisa jadi memang berbeda dengan tetangga, dengan sesama warga,
dengan teman sekerja, dengan sesama umat manusia, yang memang telah ditakdirkan
penuh dengan perbedaan dan kemajemukan. Perbedaan adalah rahmat dalam kehidupan
kita yang fana ini.
Indonesia sangat
beruntung karena pendiri bangsa ini telah mewariskan dua pedoman yang bisa
menyatukan kemajemukan di masyarakat, yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tapi itu belum selesai, menjadi tugas kitalah untuk merawat pentingnya semangat
kebersamaan dan kerjasama tanpa memandang perbedaan untuk menguatkan persatuan dan
kesatuan di antara masyarakat dengan budaya yang beragam. Dengan cara inilah
multikulturalisme bisa menjadi sebuah kekuatan yang akan memajukan bangsa
Indonesa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar