Follow Us @soratemplates

Senin, 19 Maret 2018

Menjadikan Multikulturalisme Sebagai Kekuatan



What we have to do is to find a way to celebrate our diversity and debate our deference
without fracturing our communities
(Hillary Clinton)

Apa yang harus dilakukan adalah menemukan cara untuk merayakan perbedaan
dan mendiskusikan perbedaan tanpa memecah belah komunitas kita

Jagad raya dan seisinya merupakan ciptaan Allah SWT yang memiliki pesona keanekaragaman yang sangat menakjubkan. Sebagai sesama anggota tata surya, bumi tempat kita hidup jauh berbeda dengan bulan dan matahari, dan anggota tata surya yang lainnya. Begitu pula dengan bintang gemintang yang bertebaran di dalam jagad raya ini. Walaupun memiliki kesamaan kita tidak akan mengelak tentang pesona kemajemukan dan kemanfaatannya bagi kehidupan manusia. Dengan kemajemukan itu bisa kita rasakan dalam hubungan persahabatan. 

Tidak mudah membina suatu hubungan persahabatan. Kadang niat baik belum tentu diterima dengan baik oleh sahabat kita karena salah dalam berkomunikasi. Kesalahan tersebut bisa jadi karena kita kurang paham terhadap budaya dari daerah asal sahabat kita. Padahal jika kita bisa memahami kita akan mendapatkan sahabat yang sangat banyak dan kita akan diterima oleh sahabat darimanapun mereka berasal.

Pengalaman Paling Berkesan di Pesantren dan Asrama tentang Bhineka Tunggal Ika

Saya tinggal di sebuah pesantren putri di Yogjakarta sekitar 17 tahun yang lalu. Namanya pesantren putri Innayatullah. Jaraknya agak jauh dari kampus. Butuh naik bus dua kali dan sekitar 1 jam perjalanan baru sampai. Rata-rata penghuninya adalah mahasiswa dari berbagai kampus dan berbeda daerah. Ada yang berasal dari Nusa Tenggara Barat, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Saya memilih tinggal disitu karena murah sebulan Rp. 65.000,00 sudah dengan makan dan tempat tinggal ditambah mendapatkan pelajaran agama di malam hari dan pagi hari setelah Subuh. Padahal jika saya kos saja belum sama makan di sekitar kampus sekitar Rp. 1.000.000,00 per tahun. Memang, kami sendiri yang masak tetapi tidak setiap hari. Sudah terjadwal rutin dan setiap mahasiswa mendapatkan tugas masak seminggu satu kali..
Dalam pergaulan sehari-hari, tentu saja sering sekali terjadi ketidaksesuaian dalam berkomunikasi karena kami berasal dari daerah yang berbeda. Tetapi karena saya mempunyai prinsip “Satu musuh sudah sangat banyak dan seribu teman masih kurang”, saya mencoba memahami karakteristik dari teman-teman saya. Saya tidak ingin terjadi salah paham karena ketidaktahuan saya tentang budaya mereka.
Menurut saya, dari sejumlah mahasiswa yang tinggal bersama, secara umum memiliki karakter khusus. Misalnya saja, beberapa teman saya yang dari dari Jawa Tengah tepatnya Temanggung dan Magelang, sifat  menonjol yang dimiliki  adalah pemalu dan lebih penurut. Mereka tidak ingin beradu pendapat dengan yang lain. Akan tetapi, mereka juga sangat tekun dalam menghadapi sesuatu. Nah, dari karakteristik tersebut saya fokuskan ketika dapat jadwal masak dengan mereka kita memposisikan sebagai ketua yang membagi tugas. Mereka akan berkata, “Terserah kamu aja lah pembagiannya”. Dan cara itu cukup efektif dan efisien.
Meskipun Wonosobo masuk dalam area Jawa Tengah, teman saya dari daerah ini merupakan pengecualian. Bahasa Ngapak menjadi identitas mereka. Jangan heran, jika sesama mahasiswa Wonosobo bertemu. Mereka secara otomatis ngobrol denga bahasa Ngapaknya yang lumayan nyaring dan terdengar unik karena intonasinya. Pendekatan yang paling mudah adalah ketika sedikit-sedikit saya juga memakai bahasa mereka dalam berkomunikasi, mereka akan senang dan membuat kita lebih akrab. Dan jangan heran ketika mereka dengan senang hati memasak tempe kemul dan mie ongklok, makanan khas Wonosobo untuk kita ketika keakraban sudah mulai tumbuh.
Berbeda lagi dengan teman saya yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Meskipun masih disebut dengan keturunan Jawa, mahasiswa dari Jawa Timur mendapatkan stereotip yang berbeda. Mereka dianggap orang yang kasar karena bahasanya. Memang orang Jawa Timur ini tegas. Mereka sering dianggap menjunjung tinggi harga dirinya. Jadi agak kesulitan dalam hal kerjasama. Sehingga dengan teman yang satu ini saya cenderung memposisikan menjadi anak buah. Kalau dia berkata agak kasar saya mencoba untuk tidak sakit hati. Saya berfikir begitulah cara dia berbicara. Saya kedepankan berfikir positif. Akhirnya dia berkata, “Enak ngomong sama kamu nggak tersinggungan”. Nah kalau dah dekat ternyata orangnya juga mudah diberi masukan. Misalnya, “Mbak kalau berbicara volumenya diturunkan ya agar saya tidak kaget mendengarnya”.
Walaupun dalam hal kebersihan dan tugas memasak sering terjadi perbedaan dan masalah, akan tetapi dalam urusan mengaji kita bisa kompak. Setiap mau berangkat ke madrasah menjelang maghrib kami selalu saling menunggu dan saling mengingatkan. Memang ada yang bisa cepat dan adapula yang lambat. Bagi saya menunggu mereka merupakan latihan sabar. Begitupun ketika mau pulang, yang sudah setoran hafalan atau tugas ke Ustadz tidak pulang lebih dulu tetapi menunggu sampai semua selesai. Indah sekali mengingat semangat belajar Alquran dan Hadis waktu itu. Selama menunggu kita biasanya saling bercerita.
Memang, keragaman budaya dari berbagai daerah memiliki dimensi ganda. Sisi positif bisa mengukuhkan persatuan yang membuat persahabatan semakin kuat, sementara sisi negatifnya bisa menyebabkan perpecahan ketika tidak ada toleransi. Alhamdulillah di pesantren perbedaan itu luntur dan melebur karena terkalahkan oleh tujuan masuk pesantren yaitu mencari ilmu dan mencari ridho Allah. Setiap ada masalah muncul yang tidak bisa terpecahkan biasanya melibatkan pihak ketiga untuk menjadi penengah.
Kenyamanan di pesantren ternyata tidak lama saya rasakan. Kurang dari satu tahun saya pindah ke asrama Ar-Raudhah yang letaknya dekat kampus. Alasan saya pindah karena mencari yang dekat kampus. Karena ketika kuliah sampai sore sudah tidak ada bus yang lewat pesantren saya sehingga saya harus merepotkan teman saya untuk menjemput saya dari Kentungan, Jogjakarta. Selain itu karena kecapekan dan telat makan typus saya kambuh. AKhirnya orang tua saya kasihan dan menyuruh saya pindah.
Asrama Ar-Raudhah adalah sebuah rumah yang saya dan teman-teman sewa untuk ditinggali bersama dan dibayar setiap tahun. Rumah tersebut terdiri dari 7 kamar dan dihuni oleh 12 mahasiswa. Sehingga ada aturan bahwa satu kamar harus dihuni minimal 2 orang. Penghuni asrama Ar-Raudhah sendiri berasal dari berbagai daerah. Ada yang berasal dari Riau, Medan, Palu, Kudus, Bekasi, Brebes, Pati, Lampung, Magelang, Palembang, Bengkulu dan Pagaralam. Setiap ada yang1 mahasiswa yang lulus maka akan ada 1 mahasiswa baru yang masuk untuk menggantikan.
Tidak seperti di pesantren memang, tapi suasana keagamaan cukup kental dibanding kos-kosan pada umumnya. Tahun 2003 ketika saya dipilih untuk menjadi ketua asrama, saya buat seperti di pesantren Innayatullah putri. Saya buat jadwal mulai dari jadwal menyapu, mengepel, memasak nasi, memasak air, membersihkan kamar mandi, jadwal imam sholat berjamaah, jadwal kultum setiap habis subuh dan lain-lain. Nah, disinilah konflik muncul. Perbedaan daerah asal ternyata mempengaruhi seseorang dalam berpendapat, melaksanakan tugas dan kewajiban serta dalam menerima hasil keputusan musyawarah. Sehingga sebagai ketua asrama terasa seperti tempat sampah yang menerima banyak aduan.
Banyak masalah muncul sebenarnya dimulai dari hal-hal kecil seperti perbedaan rasa dalam makanan, menunda-nunda tugas piket asrama, sifat ingin menang sendiri, karakter tidak mau mendapat kritik dan saran dari teman, mudah tersinggung dan lain-lain. Kisah-kisah tentang perbedaan ternyata membuat kami saling memahami. Lama-lama konflik tentang individualisme dan egoisme bisa diminimalisasi.
Memang butuh waktu untuk bisa memahami karakter orang lain. Tetapi karena tujuan kita tinggal di asrama Ar-Raudhah adalah agar menjadi mahasiswa yang lebih baik tidak hanya 3K atau kampus, kantin, kos-kosan maka karakter kedaerahan yang bisa memecah hubungan persaudaraan pelan-pelan bisa dihilangkan. Intinya adalah pengendalian diri dari masing-masing individu.
Tinggal bersama di asrama dengan berbagai perbedaan mengajarkan kami mengenal berbagai karakter dan kemudian saling menghormati. Semua penghuni asrama fokus bagaimana agar tidak sekadar menjadi mahasiswa biasa tetapi mahasiswa yang memberi manfaat sebanyak-banyaknya. Kesibukan kuliah, berorganisasi dan aktivitas kemasyarakatan di lingkungan asrama membuat kami tidak begitu mempermasalahkan perbedaan karakter yang ada. Semua satu tujuan yaitu menjadi pribadi yang lebih baik.
Keterikatan di antara kami sangat kuat. Wajar jika banyak mahasiswa yang ingin masuk ke asrama kami. Bahkan setelah kami lulus pun masih ada acara reuni yang rutin diadakan setiap tahun dengan membawa keluarga.
Ada beberapa hikmah tinggal di asrama dengan disiplin yang ketat yang bisa kami rasakan hingga sekarang. Sejak tinggal di asrama beberapa teman menyimpulkan menjadi pribadi yang lebih baik. Dari perbedaan tersebut kami jadi belajar lebih ramah, tidak merasa bahwa daerah kami paling baik, tidak menggunakan bahasa daerah sendiri ketika mengobrol dengan kawan se-daerah sedangkan ada orang dari daerah lain berada di sebelah kita.
Selain itu kita juga belajar saling mengenal dan menghargai kebudayaan daerah lain dan menjauhi kebiasaan mengolok-olok. Pelajaran lainnya adalah belajar menghindari keegoisan dan mau menang sendiri. Terakhir kita belajar suka menolong tanpa pernah melihat asal daerah. Ternyata memahami perbedaan budaya mampu melahirkan sebuah kekuatan perubahan dalam berfikir dan bersikap.

Menjadikan Multikulturalisme sebagai Kekuatan


Multikulturalisme berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya). Multikulturalisme merupakan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat. Pengertian tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama :

1. Kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition)
2. Legitimasi keanekaragaman budaya atau pluralisme budaya

Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan terhadap kemajemukan budaya, yang menajdi realitas sehari-hari banyak bangsa, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai suatu ideologi yang menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua manusia. Dalam hal ini, multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi keanekaragaman budaya.

Indonesia adalah negara multikultural. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang beragam dan luas. Indonesia yang terdiri dari sejumlah etnis, budaya dan agama membuatnya menjadi negara yang plural dan heterogen. Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada bangsa Indonesia ini diikat dengan sebuah semboyan "Bhineka Tunggal Ika" yang mengandung arti berbeda-beda tetapi tetap satu.


Kemudian, tantangan kita sekarang ini adalah bagaimana menjadikan multikulturalisme itu sebagai kekuatan, yang tentunya nanti bisa membawa kita pada persatuan dan kemajuan. Ada beberapa strategi kebudayaan agar multikulturalisme ini menjadi sebuah kekuatan, yaitu harus ada kesadaran tentang pentingnya multikulturalisme, yang dalam pandangan Islam adalah hukum (ketetapan) Allah.. Cara yang kedua adalah dengan mengembangkan budaya dalam masyarakat untuk saling menghargai dan tenggang rasa.
Sebagaimana kita ketahui, salah satu masalah yang terjadi dalam kehidupan adalah sikap dan perilaku kita dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Padahal, perbedaan adalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan ini. Masalah yang timbul dalam kehidupan antara lain karena kita kurang cerdas menggunakan perbedaan sebagai modal untuk membangun kekuatan dalam kehidupan.
Beda pendapat itu pasti. Oleh karena itu, kita harus bisa menjunjung tinggi kebesaran Illahi, yang memang telah menciptakan perbedaan sebagai rahmat yang harus kita syukuri. Mengingkari keanekaragaman ciptaan Allah SWT tersebut sama artinya kita mengingkari semua ciptaan Allah yang Maha Kuasa.
Contoh pengalaman saya di masa lalu adalah contoh kecil dari kehidupan yang memiliki perbedaan tetapi tetap bersatu karena memiliki tujuan yang sama. Jika kita berbicara dalam konteks kebangsaan, sejarah telah membuktikan kebenarannya bahwa untuk menjamin adanya kesatuan dan persatuan bangsa, ternyata tidak cukup menjadikan rasa persatuan dan kesatuan itu hanya sebagai janji suci berupa sumpah pemuda. Tidak cukup pula jika kita hanya tahu lambang Negara kita adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lalu bagaimana sikap kita menghadapi perbedaan agar menjadi sebuah kekuatan bangsa?
Pertama, meyakini bahwa perbedaan adalah satu hakikat dan keniscayaan sebagai rahmat Allah SWT. Percayalah bahwa perbedaan itu merupakan keniscayaan. Ada yang diciptakan sebagai laki-laki dan adapula yang diciptakan sebagai perempuan. Keduanya memiliki perbedaan. Akan tetapi Allah telah menyatukan dalam lembaga perkawinan yang agung.
Bagi pasangan yang sudah menikah tentu bisa merasakan perbedaan karakter yang cukup signifikan. Saya dan suami berasal dari daerah yang berbeda. Saya dari Jawa Tengah sedangkan suami keturunan orang Jawa Timur walaupun tinggal di Yogyakarta. Tentu saja mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. Tetapi kami memiliki visi dan misi pernikahan yang sama sehingga perbedaan itu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Justru perbedaan akan menjadi kekuatan. Oleh karena itu, keluarga merupakan pondasi yang pertama yang harus dibangun.
Kedua, mencoba untuk memecahkan masalah perbedaan secara bijaksana, penuh pengertian, saling harga menghargai, serta tanpa paksaan dan kekerasan. Orang bijak mengatakan bahwa kita harus dapat menjadikan perbedaan sebagai modal untuk dijadikan kekuatan. Oleh karena itu, kita harus bijak dalam bertindak, terbuka dalam mengelola sesuatu yang berbeda.
Setelah lingkungan keluarga kuat, kita bisa membangun kekuatan di lingkungan kerja. Dlam lingkungan dunia kerja, kita sangat membutuhkan kekuatan tim. Bisa jadi tim kita berasal dari orang-orang yang berasal dari suku dan agama yang berbeda. Jika tidak pandai bekerja sama dalam perbedaan tentu kerja tim tidak akan sukses. Justru timbul masalah baru akibat kurang bijak dalam menyikapi perbedaan.
Di lingkungan kerja saya, saya harus bekerja sama dengan rekan guru dari suku Batak, Manado dan dari daerah lain. Kemudian juga harus bisa kerjasama dengan berbagai penganut agama. Jika kita tidak menyinggung hal-hal sensitif terkait suku, agama dan golongan InsyaAllah hubungan kerja tetap terjaga dan bisa menelurkan program-program positif demi kemajuan sekolah.
Ketiga, menghadapi perbedaan tidak cukup hanya dengan mendiamkan tetapi perlu dimusyawarahkan. Untuk memahami perbedaan itu, kita memerlukan data dan informasi tentang apa yang berbeda, bagaimana perbedaannya, dan mengapa hal itu telah berbeda. Data dan informasi itu diperlukan untuk mengetahui alasan mengapa telah terjadi perbedaan dan juga untuk menyatukan perbedaan menjadi kesamaan.
Di sini kita memerlukan dialog, memerlukan musyawarah. Di sini kita memang perlu diskusi, bahkan sah-sah saja untuk beradu argumentasi. Asal hal itu dilakukan dengan penuh kesopanan, tidak menggebrak meja ketika menjelaskan fakta. Jika pada akhirnya tidak terjadi kesepakatan, maka yang harus dilakukan adalah menerima dengan tangan terbuka, dan menghargai perbedaan itu sebagaimana adanya.
Sebagai contoh ketika saya diminta menjadi wakil dari sebuah organisasi kemuslimahan dan bergabung dalam wadah yang lebih besar yaitu Gabungan Organisasi Wanita (GOW) tingkat Kabupaten. Wadah tersebut terdiri dari berbagai organisasi wanita lintas partai dan lintas ormas perempuan. Jika kita tidak membawa diri dengan baik bisa jadi akan dimusuhi. Jadi dalam berkomunikasi pun harus mengetahui latar belakang organisasi yang dianut oleh lawan bicara kita. Salah dalam mengeluarkan pendapat bisa menimbulkan masalah besar di tubuh organisasi. GOW Wonosobo bisa tetap maju jika semua anggota organisasi mematuhi tata tertib yang sudah disepakati dan bergerak bersama demi kepentingan Kabupaten Wonosobo tanpa menyinggung ideologi organisasi.
Keempat, menyikapi terjadinya perbedaan dengan melalui keteladanan, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi teladan bagi orang lain. Khusus untuk para pemimpin, keteladanan itu akan menjadi pedoman bagi semua orang. Sesungguhnya keteladanan itu harus dibentuk dari diri sendiri, dari keluarga, dan kemudian menyebar dalam kehidupan.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, tentu saja kita hidup dengan berbagai level anggota masyarakat. Ada yang berpendidikan ada juga yang tidak. Sebagai pengurus PKK, saya harus memahami hal itu dengan baik. Keputusan yang telah disepakati dalam musyawarah PKK, suka atau tidak suka jika itu sudah menjadi kesepakatan bersama maka kita harus memberi keteladanan dalam menerima keputusan dengan lapang dada. Jika kita membiasakan diri bijak dalam menerima keputusan bahkan jika usulan kita tidak diterima, maka secara tidak langsung kita telah memberikan keteladanan dalam menyikapi perbedaan.
Kelima, menyikapi adanya perbedaan dengan menetapkan kebijakan, program dan kegiatan bersama yang dirumuskan secara demokratis, transparan, terbuka, dan akuntabel. Perbedaan memang bukan sekadar masalah teori, tetapi lebih sebagai praktik yang memerlukan penerapan dan implementasi secara adil dan dapat menghindari kemungkinan timbulnya prasangka dan salah duga.
Sebagai ketua MGMP Bahasa Inggris di tingkatan Pokja, saya harus menghadapi berbagai karakter guru dari berbagai daerah. Saya sendiri adalah pendatang di daerah tersebut. Saya harus belajar tentang budaya daerah jika saya ingin diterima oleh semua anggota. Saya tidak boleh putus asa untuk belajar agar memiliki jiwa kepemimpinan yang baik sehingga program-program kerja yang telah ditetapkan bisa terlaksana dengan baik dan didukung semua pihak. Sebaik-baiknya program kegiatan organisasi jika cara menyampaikan kepada anggota tidak baik pasti tidak akan diterima.
Perbedaan memang merupakan hakikat yang pasti terjadi. Artinya, kita harus menerima takdir Allah bahwa kita bisa jadi memang berbeda dengan tetangga, dengan sesama warga, dengan teman sekerja, dengan sesama umat manusia, yang memang telah ditakdirkan penuh dengan perbedaan dan kemajemukan. Perbedaan adalah rahmat dalam kehidupan kita yang fana ini.
Indonesia sangat beruntung karena pendiri bangsa ini telah mewariskan dua pedoman yang bisa menyatukan kemajemukan di masyarakat, yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tapi itu belum selesai, menjadi tugas kitalah untuk merawat pentingnya semangat kebersamaan dan kerjasama tanpa memandang perbedaan untuk menguatkan persatuan dan kesatuan di antara masyarakat dengan budaya yang beragam. Dengan cara inilah multikulturalisme bisa menjadi sebuah kekuatan yang akan memajukan bangsa Indonesa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar