Ketika saya mengutarakan keinginan saya untuk kuliah, ibu langsung marah dan menarik saya di depan cermin, “Kamu tuh ngaca anak siapa, kamu hanya anak seorang buruh nggak usah mempunyai cita-cita yang tinggi. Orang tuamu ini hanya mengandalkan dengkul (lutut), kalau dengkul nya capek terus sakit ya nggak dapat uang”. Saya pun menangis tanpa menjawab satu katapun.
Kejadian sekitar 25 tahun yang lalu tersebut masih membekas dalam ingatan hingga hari ini. Seandainya waktu itu saya tidak nekat menentukan jalan saya sendiri, mungkin kisah yang kini saya jalani berbeda. Mungkin sekarang saya tidak menjadi guru bahasa Inggris di sebuah SMP.
Nama saya adalah Puji Narima Wati. Biasa dipanggil Puji. Saya
lahir di Temanggung, 30 Maret 1983. Sejak kecil saya tinggal dengan orang tua
di Temanggung. Kota yang sangat dingin, berdekatan dengan Gunung Sindoro dan Gunung
Sumbing. Saya adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakak saya perempuan
bernama Lusiana, seorang penjahit dan juga pedagang.
Orang tua saya berharap ketika saya lahir adalah
laki-laki karena sudah mempunyai anak perempuan sebelumnya. Tapi apalah daya
taqdir berkata lain. Akhirnya, orang tua menerima dan saya diberi nama Puji
Narima Wati yang artinya sebuah doa agar menjadi wanita yang “nrimo ing pandum”
atau qanaah dalam bahasa Arab.
Ayah saya seorang kuli bangunan dan ibu saya seorang
penjahit. Saya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ayah dan ibu saya
dipertemukan karena memiliki kisah yang sama yaitu orang tua yang sama-sama bercerai
dan sama-sama tidak dirawat oleh orang tua. Ayah sebagai anak sulung harus
merawat 2 orang adik laki-lakinya, sedangkan ibu harus ikut pakde karena nenek saya sudah tidak mampu membiayai. Ayah dan ibu
bukan orang yang berpendidikan.
Ayah hanya mampu bersekolah sampai kelas 2 SD
sedangkan ibu sampai kelas 5 SD. Ibu dirawat oleh pakdenya karena tidak
memiliki anak. Ibu sedikit beruntung di usia tuanya ikut ujian persamaan SD sehingga punya ijazah persamaan SD. Kakek nenek saya bercerai dan masing-masing menikah lagi sehingga
jumlah kakek nenek saya menjadi 8 orang.
Semasa kecil saya
sering mendengarkan keributan ayah dan ibu khususnya masalah ekonomi. Rasanya
bosan mendengar percekcokan tentang uang dan uang. Belum lagi 2 paman yang ikut
tinggal bersama kami sering menjadi alasan pertengkaran ayah dan ibu. Saya dan
kakak saya terbiasa melihat kerja keras orang tua dalam bekerja. Ayah sering
membawa pulang pekerjaannya dan menyuruh kami membantu. Ibu juga sering lembur
jahitan sampai larut malam terutama menjelang lebaran.
Saya sering membantu ayah
mengubah besi kecil menjadi bentuk kotak-kotak sesuai dengan ukuran yang
ditentukan untuk digunakan sebagai tiang besi membangun rumah atau kadang mengangkut batu bata dan pasir. Ibu pun menyuruh
saya untuk memasang kancing, mengobras baju dan pekerjaan menjahit lainnya jika
saya ingin tetap mendapatkan uang saku.
Itulah yang membuat saya dan kakak saya
harus berbagi tugas mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga sejak kecil
mulai menyapu, mencuci, menyetrika dan memasak. Bahkan mengecat rumah menjelang
lebaran pun saya dan kakak saya yang mengerjakan, karena ayah pasti banyak
orderan menjelang lebaran.
Ayah saya tidak
begitu paham dengan agama tapi ibu sedikit-sedikit mengerti tentang hukum
sholat dan bisa membaca Al Quran walau tidak begitu lancar. Namun demikian, setiap hari ibu menyuruh saya mengaji di TPA di tetangga desa agar bisa membaca
Al Qur’an. Anehnya walaupun ayah tidak sholat tetapi sering mengingatkan saya
untuk sholat dan mengaji.
Sejak kecil beliau selalu menasehati saya untuk
selalu rajin beribadah, jujur dan baik terhadap sesama.”Ayah nggak bisa sholat
nggak bisa ngaji, ntar kamu kalau masuk surga panggil ayah ya!”, begitu pesan beliau setiap kali saya mengajak sholat. Walaupun sekarang akhirnya sudah rajin sholat, akan saya ceritakan kisah beliau akhirnya mau sholat di tulisan yang lain.
Walaupun ayah tidak
paham agama, alhamdulillah ada salah satu paman yang tinggal bersama kami yang banyak
paham tentang agama. Saya diajari sholat dan mengaji bahkan kadang diajak ke
beberapa masjid yang mengundang beliau untuk mengisi pengajian. Beliaulah orang
yang pertama kali memberikan inspirasi tentang pendidikan khususnya pendidikan
agama dan mengajari saya bahasa Jawa halus.
Paman saya selalu berpesan, “Pendidikan yang akan mengubah ekonomi kita, kamu harus
pinter biar bisa jadi orang sukses. Kita nggak punya sawah, ayahmu pun nggak
punya warisan apa-apa. Hanya pendidikan yang jadi harapan kita untuk lepas dari
kemiskinan ini”. Paman saya ini bisa sekolah sampai SMP juga karena beasiswa
kemudian masuk SPG juga karena beasiswa. Selain itu ada guru mengaji saya yang juga membantu biaya sekolah paman. Ayah saya hanya membiayai transport
dan makan waktu itu karena sekolahnya jauh dan beda kabupaten. Alhamdulillah, paman saya pun juga terbiasa mandiri sejak kecil.
Setelah lulus dari
SPG, paman saya menjadi agen koran “Wawasan” dan majalah “Estafet” sambil
menunggu lowongan pekerjaan menjadi PNS, paman menjadi guru wiyatabakti di sebuah SD. Beliau yang mencari pelanggan baik di desa kami maupun di luar desa kami. Uang hasil tabungan mengajar beliau kumpulkan dan digunakan untuk membeli sepeda onthel.
Tahun 1987, saya dan kakak saya
menjadi tukang loper koran membantu paman sekaligus untuk mencari tambahan uang saku.
Saya masih duduk di bangku SD waktu itu sedangkan kakak saya SMP. Kami berbagi
tugas. Paman saya dan tetangga saya mengantar koran serta majalah ke pelanggan
yang jauh rumahnya dengan mengendarai sepeda. Sedangkan saya dan kakak saya
mengantar koran dan majalah di sore hari atau hari libur di tetangga terdekat
yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Kami senang sekali
ketika mengantar ke beberapa pelanggan yang baik dan perhatian kepada kami. Ada
beberapa pelanggan yang masih saya ingat wajah dan namanya sampai sekarang
yang sering memberikan hadiah kepada kami. Mereka kadang memberi uang jajan
atau makanan bahkan mendoakan kami agar kelak kami jadi orang yang sukses.
“Aamiin”, jawab kami serempak.
Walau hujan datang kami tetap mengantar koran
dan majalah ke pelanggan. Kami bungkus koran tersebut dengan plastik
rapat-rapat agar tidak basah. Pernah kami mengantar koran dalam keadaan hujan
deras akan tetapi rumah pelanggan kosong dan nampaknya mereka sedang bepergian
maka kami pulang. Hari berikutnya kami mendatangi rumah tersebut kembali. Bagi
kami tak apalah kerja dua kali yang penting pelanggan koran puas dengan
pelayanan kami.
Nah lebih senang
lagi kalau pas tanggal muda sekitar tanggal 1 sampai dengan tanggal 5. Sebagian
besar pelanggan koran kami berprofesi sebagai PNS. Para pelanggan koran
tersebut membayar uang koran dan majalah secara bulanan. Kami membawa buku
khusus, pulpen dan tas kecil yang berisi uang. Untuk harga eceran waktu itu Rp.
350,00 per eksemplar dan untuk harga mingguan Rp. 750,00 per eksemplar. Sehingga
mereka membayar Rp. 3000,00 setiap bulannya.
Setelah uang terkumpul kami
setorkan ke paman kami. Saya dan kakak saya masing-masing mendapat uang Rp.
10.000,00 setiap bulannya. Nominal tersebut sangat besar bagi anak kecil
seperti kami. Sebagian ditabung sebagian lagi untuk jajan, membeli keperluan
sekolah dan mentraktir teman di sekolah. Teman saya pasti menagih untuk
ditraktir setiap tanggal muda. Dan saya bahagia sekali bisa mentraktir mereka
dengan uang saku saya sendiri.
Selain mendapat tambahan uang, menjadi tukang loper
koran juga memperoleh tambahan ilmu pengetahuan secara gratis. Saya masih ingat
dengan persis setiap hari kami berebut membaca koran Wawasan halaman 6. Di
halaman tersebut ada cerita bersambung yang sangat menarik bagi keluarga kami
yang berjudul “Kamajaya”. Kalau sudah baca ceritanya pasti akan penasaran
menunggu cerita selanjutnya. Benar-benar membuat kita ketagihan. Setelah
membaca cerita “Kamanjaya” baru membaca berita yang lain mulai berita di
halaman depan menuju halaman-halaman selanjutnya.
Berawal dari membaca Koran
Wawasan tersebut hobi membaca saya dimulai. Saya dan kakak saya suka sekali membaca koran dan melihat gambar-gambar di koran. Maklum waktu itu hiburan televisi belum banyak menawarkan program seperti sekarang. Apalagi koran hari Minggu merupakan hiburan tersendiri karena ada halaman khusus anak-anak.
Ada juga keasyikan lain yang ditunggu-tunggu yaitu rubrik quiz. Pernah suatu hari ada quiz yang bekerja
sama dengan obat flu. Kami sekeluarga mengirim quiz semua. Dan kami terkejut
karena kami semua mendapat hadiah yang sama yaitu payung yang bertuliskan “Wawasan”. Payungnya
juga sangat besar dan kuat. Betapa gembiranya hati kami karena harga payung
pada waktu itu sangat mahal padahal di tanah kelahiran saya curah hujan tinggi. Jadi hadiah tersebut bermanfaat sekali bagi kami. Bahkan tetangga sering
sekali meminjamnya. Mereka tahu kalau kami memiliki 5 payung baru.
Tidak hanya hadiah
dan uang yang kami dapat, tetapi juga saudara baru. Banyak sekali teman-teman
paman sesama agen atau wartawan yang datang ke rumah untuk silaturohim bahkan menginap di rumah kami.
Mereka adalah orang-orang yang sukses di bidang kepenulisan. Saya dan kakak
saya bisa berlama-lama mendengar cerita tentang pengalaman mereka dalam dunia
tulis menulis. Kadang-kadang mereka memperlihatkan tulisan mereka yang dimuat di koran.
Mereka juga memperlihatkan photo mereka dimuat di koran tersebut dengan bangga. Nah, cerita
pengalaman seperti ini yang memberikan inspirasi bagi saya dan memotivasi saya
untuk bisa menulis seperti mereka.
Hobi membaca koran Wawasan tidak langsung membuat saya
bisa menulis. Saya sering sedih kalau mendapat PR Bahasa Indonesia tentang
mengarang. Saya bingung harus memulai dari mana. Namun, paman saya membimbing
saya dengan sabar. Dia mengajari saya membuat kerangka karangan terlebih dahulu
sebelum membuat karangan baru kemudian mengembangkannya.
Waktu itu saya jengkel
karena saya maunya dibuatkan langsung bukan malah muter-muter penjelasannya.
Tapi paman saya tetap tidak mau, kalau saya ngambek dia langsung melotot yang
membuat saya takut dan menuruti segala perintahnya. Beliau berpesan, “Kalau
ingin bisa menulis ya harus banyak baca jangan cuma cerita Kamanjaya saja yang
dibaca”, begitu sindir beliau ketika menyemangati agar saya juga harus membaca
banyak buku agar bisa menulis.
Akhirnya saya bisa mengarang dengan teknik yang
diajarkan paman saya. Setiap ada tes mengarang saya mesti minta nambah kertas.
Waktu itu saya hanya berpikir yang tulisannya banyak nilainya tinggi, yang
tulisannya rapi juga nilainya tinggi. Saya hanya fokus pada banyaknya kata yang
bisa saya hasilkan dan kerapian dari tulisan saya. Saya belum paham tentang
pemilihan kata harus bagus, saya juga belum paham tentang aturan kohesi dan
koherensi. Pokoknya yang penting nulis.
Ketika kelas 4 SD, wali kelas saya
pada waktu itu menunjuk saya untuk mewakili sekolah mengikuti lomba mengarang
di tingkat kecamatan. Walaupun belum juara 1 cukup menyemangati saya untuk
belajar menulis lebih giat lagi. Saya membeli buku kecil yang khusus saya gunakan untuk menulis. Disitu saya tulis apa saja yang saya rasakan.
Akan tetapi dibalik
berbagai cerita suka menjadi tukang loper
koran, ada beberapa cerita duka didalamnya. Selain saya dan kakak saya yang
membantu paman, ada lagi adik tiri ayah yang juga ikut membantu. Beliau satu ibu
beda ayah dengan paman dan ayah saya. Waktu itu beliau kelas 6 SD. Beliau
diminta paman mengambil koran di kantor pusat. Setelah turun dari bis beliau
hendak menyeberang jalan menuju rumah. Tiba-tiba sebuah mobil menabraknya. Saya
mendengar suara klakson dibunyikan dengan keras kemudian disusul suara rem yang
melengking karena diinjak mendadak. Kami berlari menuju jalan raya yang
jaraknya sekitar 50 meter dari rumah. Kami mencoba mencari tahu siapa yang
tertabrak oleh mobil tersebut.
Alangkah terkejutnya kami ketika melihat banyak
koran sudah bercampur dengan darah dan berhamburan di jalan raya. Dan seketika
lemas badan ini melihat paman tiri kami sudah bersimbah darah dan dinyatakan
meninggal oleh tetangga kami yang kebetulan bekerja sebagai perawat di rumah
sakit. Nenek kami berkali-kali pingsan mendengar berita ini. Paman tiri kami
tersebut adalah anak kesayangan nenek. Kata nenek anaknya rajin dan penurut.
Walaupun saya
masih kecil waktu itu tapi saya sudah bisa menangis dan merasakan orang yang
disayang meninggal. Saya merasa kehilangan sekali. Beliau sering membantu PR menggambar dan mewarnai karena
saya sangat lemah di pelajaran tersebut. Dan seluruh keluarga besar kami harus ikhlas menerima
kepergiannya.
Hal yang
menyedihkan berikutnya adalah ketika paman kami sebagai agen koran diterima
menjadi PNS di suatu daerah terpencil. Di satu sisi kami senang karena paman
menjadi PNS tetapi itu artinya beliau tidak bisa lagi menjadi agen koran dan
majalah. Artinya pula saya dan kakak saya akan kehilangan pekerjaan sebagai
tukang loper koran.
Kepemilikan agen koran akhirnya dijual ke orang lain yang
rumahnya berseberangan dengan desa kami. Di situlah kami sedih kehilangan
pekerjaan dan kehilangan kesempatan baca koran gratis. Sejak saat itu kami
tidak pernah membaca koran lagi. Tapi kami bersyukur dengan menjadi tukang
loper koran kami memiliki hobi membaca dan menulis.
Beranjak remaja dan
duduk di SMP saya menyalurkan hobi menulis di buku diary saya. Tetapi suatu hari
semua tulisan di buku diary saya dibaca oleh kakak saya dan membuat saya sangat
malu. Kakak saya mengetahui semua rahasia yang saya tulis di buku tersebut. Sejak
saat itu saja tidak mau menulis di buku diary lagi takut rahasia saya
terbongkar. Nyaris selama di SMP sejak kejadian itu saya tidak menulis lagi, kecuali
surat kepada kakak saya yang kerja di Bogor.
Setelah lulus SMP
saya mendaftar di SMA favorit di kota saya. Akan tetapi setelah diterima saya
tidak diijinkan orang tua saya. Kata mereka kalau di SMA tidak bisa langsung
kerja harus kuliah dulu. Akhirnya orang tua menyuruh saya masuk SMK. Saya harus masuk SMK Negeri seperti kakak saya. Sedih
sekali waktu itu. Saya mengurung diri di kamar.
Sejak kecil, saya memang punya cita-cita
untuk kuliah. Ketika saya mengutarakan keinginan saya untuk kuliah,
ibu langsung marah dan menarik saya di depan cermin, “Kamu tuh ngaca anak
siapa, kamu hanya anak seorang buruh nggak usah mempunyai cita-cita yang
tinggi. Orang tuamu ini hanya mengandalkan dengkul (lutut),
kalau dengkul nya capek terus
sakit ya nggak dapat uang”. Saya pun
menangis tanpa menjawab satu katapun. Waktu itu yang saya rasakan hanyalah perasaan kecewa yang teramat sangat. Di satu sisi saya kasihan dengan keadaan ekonomi keluarga, di sisi yang lain keinginan untuk kuliah begitu menggebu.
Seminggu menjalani
sekolah di SMK jurusan akuntansi tidak begitu menyenangkan sampai saya bertemu
dengan teman sebangku saya yang juga mengalami nasib yang sama. Dari kesamaan
itu kami menjadi akrab dan nyambung ketika bercerita. Kami saling menyemangati
walaupun sekolah di SMK kita tidak boleh minder, itu prinsip yang kemudian kami
sepakati bersama. Kelas satu hingga kelas 3 saya sekelas dan sebangku terus bersamanya. Alhamdulillah di SMK mendapat beasiswa sehingga bisa membantu
orang tua membayar uang SPP bulanan. Di akhir kelulusan juga mendapat peringkat
2 kelas pararel untuk NEM tertinggi.
Kebingungan setelah
lulus SMK pun dimulai. Orang tua
menyuruh saya kerja di Bogor di sebuah perusahaan garmen mengikuti kakak saya.
Kakak saya tidak kuliah. Dia tidak tega melihat kondisi keuangan keluarga.
Apalagi waktu itu tahun 1998 sedang terjadi krisis moneter. Untuk makan
sehari-hari kadang kami harus menggadaikan magic com, piring, kain jarit atau
selusin sendok. “Aku dah capek denger ributnya bapak dan ibu, aku pengin kerja
dan dapat uang banyak terus bisa kirim ke orang tua”, begitu jawab kakak saya
ketika saya tanya alasan tentang ketidakmauannya untuk kuliah.
Nah, berbeda sekali dengan saya. Keinginan saya untuk
kuliah begitu menggebu hingga tak terbendung lagi. Saya mengutarakan keinginan
kuliah saya kepada ayah. Dengan bijaksana, beliau memberikan alasan yang
membuat saya menunduk malu. Ibu pun menguatkan pendapat ayah. Faktor ekonomilah
yang menjadi kendala saya tidak bisa kuliah.
Saya kemudian pergi ke rumah
sepupu ayah yang anaknya kuliah di Jogja. Saya minta tolong dicarikan kampus yang
memberikan beasiswa. Alhamdulillah ada perguruan tinggi swasta di Jogja yang
menerima saya dan memberikan beasiswa di jurusan Bahasa Inggris. Tapi orang tua
masih juga keberatan. Mereka masih khawatir dengan biaya hidup saya di Jogja. Saya
terus meyakinkan orang tua bahwa saya nanti bekerja sambil kuliah. Jika tidak kuat melanjutkan saya akan ambil cuti. Saya juga
minta bantuan kakak yang di Bogor dan paman saya yang PNS untuk membantu biaya
kuliah saya. Alhamdulillah mereka menyanggupi. Bahkan nenek saya membantu
menyediakan beras agar saya bertahan hidup. Saya datang ke rumah nenek setiap dua minggu sekali.
Setelah 4 tahun akhirnya saya lulus. Selama kuliah saya
bekerja menjadi guru TK di pagi hari kemudian les privat di sore dan malam hari. Khusus hari Sabtu Minggu saya kerja menjadi karyawan tata usaha di sebuah
perguruan tinggi swasta. Di sini saya baru menyadari bahwa ilmu SMK saya
bermanfaat. Beruntung saya menuruti orang tua masuk SMK waktu itu.
Walaupun kuliah dan bekerja saya juga menyukai organisasai. Saya
gabung dengan beberapa organisasi di kampus. Saya ikut beberapa organisasi keislaman dan juga BEM
Universitas. Dan ada satu organisasi yang mendukung hobi membaca dan menulis
yang juga saya tekuni yaitu Reading and
Writing Society. Di komunitas inilah saya kembali tersemangati untuk membaca
banyak buku dan kemudian menuliskannya dengan bahasa saya sendiri dan kemudian
mempresentasikan hasil review terhadap buku yang dibaca kepada teman-teman yang
lain.
Kebiasaan presentasi ini juga membuat saya lebih berani ketika harus
mewakili teman-teman mengikuti lomba English
Debate dan meraih juara ketiga. Selain itu kebiasaan membaca dan menulis
membuat saya lebih mudah dalam mengerjakan skripsi saya. Sehingga dengan
pertolongan Allah skripsi saya 2 bulan selesai saya kerjakan. Saya ambil cuti
tidak bekerja karena ingin fokus mengerjakan skripsi. Alhamdulillah Allah
menolong saya dan mempertemukan saya dengan orang-orang yang baik, yang
meminjami komputer, yang meminjami sepeda motor, yang mengajak saya ke
perpustakaan dengan buku-buku lengkap sesuai yang saya cari. Skripsi dengan
judul “The Biographical Approach of House
of Seven Gables” akhirnya selesai juga.
Tahun 2006 tepatnya, saya lulus dari kampus Universitas
Ahmad Dahlan dengan predikat cumlaude. Orang tua saya, paman dan kakek saya
datang ke gedung tempat saya di wisuda. Begitu mereka melihat saya memakai
toga, mereka langsung sujud syukur di karpet yang ada di gedung tersebut.
Otomatis semua mata memandang. Beberapa menit kami menjadi tontonan para
wisudawan dan orang tua wisudawan pada waktu itu. Kami berpelukan terharu.
Orang tua merasa tidak percaya akhirnya saya menjadi sarjana. Banyak yang ikut
menangis melihat kami, terutama teman-teman satu kos yang tahu persis kondisi
ekonomi saya. Kami semua bersyukur sampai pada titik ini. Ternyata hobi menulis
diary turut serta membantu kemudahan dalam menulis skripsi. Tentu dengan ijin
Allah.
Setelah lulus, saya masih melanjutkan bekerja menjadi
karyawan tata usaha di tempat semula. Saya merasa hutang budi karena saya
dipinjami uang untuk biaya wisuda. Saya merasa mendapatkan lingkungan bekerja yang
sangat menjunjung tinggi asas kekeluargaan. Mereka juga mengangkat saya menjadi
dosen tetap. Bahkan menawari beasiswa untuk S2 tetapi tidak full. Oleh karena
itu saya menabung untuk menggenapkan beasiswa tersebut.
Akan tetapi di tengah perjuangan saya mengumpulkan
tabungan untuk biaya S2 datanglah seorang laki-laki melamar saya. Saya kemudian
istikharah dan saya memutuskan menikah dengan lelaki yang sekarang menjadi
suami saya dengan uang tabungan tersebut. Tidak sampai 1 bulan dari perkenalan,
proses lamaran dan akad nikah. Benar-benar super kilat hubungan kami.
Sudah menjadi tradisi di desa kami jika tidak
mampu menyelenggarakan resepsi pernikahan dan tidak menerima sumbangan memasang
bendera merah. Jadi ketika ada bendera merah di depan rumah kami tetangga tidak
datang yang hadir hanya keluarga besar, kepala keluarga satu RW dan beberapa
teman saya. Hanya ada akad nikah, pengajian dari seorang ustadz, sambutan tokoh
masyarakat kemudian makan siang. Acara hanya berlangsung sehari saja di sebuah
masjid di sebelah rumah saya. Sederhana sekali acaranya. Alhamdulillah sah.
Dari pernikahan di tanggal 15 Juli 2007 sampai sekarang,
kami dikaruniai 3 anak yaitu Syahida Asma Amanina (10 tahun), Daffa Izzuddin
Asy Syidqi (8 tahun) dan Fachri Muhammad Arsyad (5 tahun). Dan sekarang saya
sedang mengandung anak keempat usia 9 bulan. Selama 10 tahun saya tinggal di
Jogja. Kemudian orang tua menyuruh saya mendaftar PNS. Awalnya saya tidak mau. Saya khawatir tidak bisa membagi waktu untuk anak-anak. Akan tetapi demi orang tua saya ikut tes PNS. Dan akhirnya saya
diterima menjadi guru di SMP N 2 Leksono Wonosobo.
Awalnya suami menyuruh mundur karena daerahnya terpencil jauh dari perkotaan. Apalagi suami masih di Jogja kerjanya. Tetapi dengan dukungan orang tua saya akhirnya tetap mengambil posisi tersebut. Selama 2,5 tahun kami LDR. Suami seminggu sekali pulang. Saya kontrak rumah di dekat sekolah dengan 2 anak saya waktu itu.
Selang 2,5 tahun Alhamdulillah bisa mutasi ke SMP N 2 Selomerto Kabupaten Wonosobo. Tempatnya di pinggir jalan. Kami pindah kontrakan lagi mendekati sekolah. Lama-kelamaan suami mungkin kasihan dengan saya dan ikut pindah
di Wonosobo. Suami laju Wonosobo-Jogja setiap hari kadang 2 hari sekali baru
pulang.
Di Wonosobo inilah kesempatan menulis kembali muncul.
Awalnya saya sering menulis di buletin sebuah organisasi muslimah, kemudian
saya bagi-bagi ke teman kantor. Mungkin karena kepala sekolah melihat saya
sering menulis saya diberi amanah untuk mengampu ekstrakurikuler Jurnalistik.
Saya sebenarnya buta dengan kepenulisan jurnalistik. Dari situlah saya kemudian
mengundang wartawan untuk mengisi workshop tentang jurnalistik. Saya
mendapatkan banyak materi tentang straight news, feature news dan opini.
Berbekal ilmu jurnalistik yang seujung kuku itu saya
kemudian mencoba membuat beberapa tulisan dan mengirimkan ke beberapa lomba.
Alhamdulillah meraih Juara 3 Lomba Menulis Artikel tingkat Kabupaten dan Juara
3 Lomba Menulis Essay tingkat Propinsi. Kemudian berani mengirim tulisan ke
Wawasan dan dimuat di rubrik Guru Menulis dengan judul “Guru, Generasi Alpha
dan Indonesia Emas 2045” (Dimuat di Koran Wawasan Hari Selasa, 14 November
2017). Sekarang mulai berani mengirim di Jateng Pos Alhamdulillah dimuat di surat kabar tersebut dengan judul “Belajar Speaking Menyenangkan dengan Model Two Stay Two Stray” (dimuat hari Jum'at tanggal 2 Maret 2018).
Dengan sedikit pengalaman menulis saya beranikan diri untuk membimbing
siswa-siswi yang ikut ekstrakurikuler Jurnalistik dan Photografi. Kami di tim
Jurnalistik membuat buletin sekolah sebagai wadah untuk menyalurkan bakat dan
minat di dunia kepenulisan. Saya juga sambil belajar terutama masalah ejaan
yang masih amburadul. Biasanya saya meminta bantuan guru bahasa Indonesia untuk
mengoreksi.
Dari buletin yang dibuat kami beranikan untuk mengikuti lomba karya
jurnalistik. Alhamdulillah beberapa kali menjuarai baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Prestasi dari tim jurnalistik sampai sekarang diantaranya Juara 2
lomba jurnalistik tingkat nasional (Medali Perak) tahun 2014 di Jogjakarta,
Juara 2 lomba penulisan berita tingkat kabupaten tahun 2014, Juara 3 lomba
fotografi tahun 2014, Juara 1 lomba karya tulis ilmiah tingkat kabupaten dan maju
propinsi tahun 2014.
Selain itu juga meraih Juara 3 Lomba
Jurnalistik tingkat nasional (Medali Perunggu) tahun 2015, Juara 1 Lomba
Jurnalistik tingkat kabupaten tahun 2016, Juara 1 Lomba Photografi tingkat
kabupaten tahun 2016, Juara 1 Lomba Mading Digital Tema Anti Narkoba tingkat
Kabupaten tahun 2016, Juara 1 Lomba Mading Digital Tema Generasi Berencana
tingkat Kabupaten tahun 2016, Juara 2 Lomba Writing Contest Jenis Recount text
tingkat Kabupaten tahun 2016, Juara 1 Lomba Penelitian Siswa Nasional Tingkat
Propinsi tahun 2017, Juara 2 (Medali Perak) Lomba Penelitian Siswa Nasional
Tingkat Nasional tahun 2017 dan Juara 1 Lomba Karya Ilmiah Remaja Tingkat
Propinsi tahun 2017.
Dari prestasi tim jurnalistik di sekolah kami tersebut
ternyata mendapat apresiasi dari pemerintah kabupaten Wonosobo melalui beberapa
penghargaan berupa piagam dan sejumlah uang.
Penghargaan yang pernah kami terima diantaranya: Penghargaan kepada tim
Jurnalistik dari Bupati Wonosobo tahun 2014, dari ketua DPRD Wonosobo tahun
2014, dari Gubernur Jawa Tengah tahun 2015 dan dari ketua DPRD Wonosobo tahun
2015.
Sejak tahun 2016 kami sangat bersedih karena Lomba Karya Jurnalistik
Nasional dihilangkan karena kendala pendanaan. Selain itu karena alasan pungutan liar (pungli) buletin sekolah juga dilarang terbit. Lengkaplah sudah penderitaan kami di dunia tulis menulis. Itu membuat siswa saya tidak
semangat lagi untuk menulis. Saya terus memotivasi mereka agar tetap semangat
menulis walaupun tidak ada lomba. Saya menyerankan mereka untuk menulis di facebook atau media sosial yang lain.
Sebagai guru tuntutan untuk menulis di beberapa tahun
terakhir ini juga sangat didengungkan oleh pemerintah. Setelah
mengikuti pelatihan penyusunan Penelitian Tindakan Kelas yang diselenggarakan
oleh Dinas Kabupaten, saya termotivasi untuk menulis PTK. Saya mencoba membuat PTK
dengan judul “Peningkatan Kemampuan Berbicara dan Prestasi Belajar Bahasa
Inggris melalui Model Two Stay Two Stray
Kelas VIIB SMP Negeri 2 Selomerto Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016”. Dan
Alhamdulillah berhasil diseminarkan di depan rekan guru satu sekolah dan
mengundang beberapa guru dari luar. Rasanya lega luar biasa ketika tulisan kita
mendapat apresiasi dari orang lain. Kemudian tulisan tersebut saya kirim ke
penerbit jurnal. Alhamdulillah masuk di Jurnal Ilmiah tingkat provinsi yang
sudah mempunyai ISBN.
Selain itu artikel saya
juga pernah dimuat di majalah GOW Kabupaten Wonosobo dengan judul
“Dengan Penerapan MIOnKlok Ibu Mampu Mencetak Generasi Penentu Peradaban di Era
Digital” dan essay saya dimuat di majalah Salimah dengan judul “Mahalnya Waktu
Orang Tua untuk Anak”. Selain menulis artikel saya belajar menulis buku dan
sudah dicetah tahun 2016 dengan judul English For Children. Tapi saya merasa
belum puas, saya masih pengin belajar menulis dari berbagai pelatihan untuk
memperindah tulisan saya. Saya masih iri dengan tulisan para penulis yang
sangat indah dalam memilih kosakata. Saya masih jauh ketinggalan.
Di tahun 2015, ada tawaran beasiswa dari Dinas
Pendidikan untuk melanjutkan S2. Saya mencoba ijin dengan suami dan
Alhamdulillah diijinkan. Di tahun 2017 alhamdulillah lulus dengan predikat
Lulusan terbaik dan cumlaude. Judul Thesis yang saya ambil“The Effect of Concept Mapping
in Improving Reading Comprehension Viewed From Student’s Motivation (An
Experimental Study in the Ninth Grade of State Junior High School 2 Selomerto,
Wonosobo in the First Semester of Academic Year 2016/ 2017. Sampai akhir
lulus ternyata beasiswa tidak turun, tetapi Allah mampukan saya untuk membayar
biaya kuliah. Saya tetap mendapat gaji dari pemerintah karena saya ambil kuliah
di akhir pekan dan saya masih bekerja 5 hari di sekolah. Sungguh melelahkan,
apalagi waktu libur yang harusnya bersama keluarga diambil untuk kuliah.
Sungguh, semua tulisan ini ada karena bantuan Allah.
Saya hanya ingin anak-anak saya kelak mempunyai kebiasaan membaca dan menulis.
Saya hanya ingin anak-anak saya tidak kecanduan gadget, biarlah mereka
kecanduan buku dan kecanduan menulis. Biarlah sekarang uang yang ada habis
untuk membeli buku-buku bergizi dan mendirikan perpustakaan di rumah. Daripada
membeli banyak mainan dan akhirnya dibuang atau jajan yang tidak sehat. Semoga suatu saat nanti kami bisa
mendidik anak-anak kami untuk menjadi penulis.. Seorang tukang loper koran
dengan penuh keterbatasan saja mau membaca dan menulis. Apalagi anak-anak jaman
sekarang yang penuh dengan fasilitas harus bisa menghasilkan karya-karya hebat
yang akan merubah dunia dengan tulisannya.
Wallahu a’lam bi showab
Bener2 inspiratif Bu puji..
BalasHapusSemoga bisa menginspirasi yang lain bu. Ayo semangat menulis untuk perubahan
HapusKalo saya ga bs nulis Bu, tp guru skrg d tuntut harus bs menulis.. jadi, harus belajar banyak ni dr Bu puji
BalasHapusSaya juga sedang belajar kok bu. Ayo bareng-bareng belajar
Hapus