Follow Us @soratemplates

Rabu, 07 Maret 2018

Berawal dari Profesi Tukang Loper Koran

Berawal dari Tukang Loper Koran

Ketika saya mengutarakan keinginan saya untuk kuliah, ibu langsung marah dan menarik saya di depan cermin, “Kamu tuh ngaca anak siapa, kamu hanya anak seorang buruh nggak usah mempunyai cita-cita yang tinggi. Orang tuamu ini hanya mengandalkan dengkul (lutut), kalau dengkul nya capek terus sakit  ya nggak dapat uang”. Saya pun menangis tanpa menjawab satu katapun.

Kejadian sekitar 25 tahun yang lalu tersebut masih membekas dalam ingatan hingga hari ini. Seandainya waktu itu saya tidak nekat menentukan jalan saya sendiri, mungkin kisah yang kini saya jalani berbeda. Mungkin sekarang saya tidak menjadi guru bahasa Inggris di sebuah SMP.

Nama saya adalah Puji Narima Wati. Biasa dipanggil Puji. Saya lahir di Temanggung, 30 Maret 1983. Sejak kecil saya tinggal dengan orang tua di Temanggung. Kota yang sangat dingin, berdekatan dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Saya adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakak saya perempuan bernama Lusiana, seorang penjahit dan juga pedagang. 

Orang tua saya berharap ketika saya lahir adalah laki-laki karena sudah mempunyai anak perempuan sebelumnya. Tapi apalah daya taqdir berkata lain. Akhirnya, orang tua menerima dan saya diberi nama Puji Narima Wati yang artinya sebuah doa agar menjadi wanita yang “nrimo ing pandum” atau qanaah dalam bahasa Arab.

Ayah saya seorang kuli bangunan dan ibu saya seorang penjahit. Saya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ayah dan ibu saya dipertemukan karena memiliki kisah yang sama yaitu orang tua yang sama-sama bercerai dan sama-sama tidak dirawat oleh orang tua. Ayah sebagai anak sulung harus merawat 2 orang adik laki-lakinya, sedangkan ibu harus ikut pakde karena nenek saya sudah tidak mampu membiayai. Ayah dan ibu bukan orang yang berpendidikan. 

Ayah hanya mampu bersekolah sampai kelas 2 SD sedangkan ibu sampai kelas 5 SD. Ibu dirawat oleh pakdenya karena tidak memiliki anak. Ibu sedikit beruntung di usia tuanya ikut ujian persamaan SD sehingga punya ijazah persamaan SD. Kakek nenek saya bercerai dan masing-masing menikah lagi sehingga jumlah kakek nenek saya menjadi 8 orang.

            Semasa kecil saya sering mendengarkan keributan ayah dan ibu khususnya masalah ekonomi. Rasanya bosan mendengar percekcokan tentang uang dan uang. Belum lagi 2 paman yang ikut tinggal bersama kami sering menjadi alasan pertengkaran ayah dan ibu. Saya dan kakak saya terbiasa melihat kerja keras orang tua dalam bekerja. Ayah sering membawa pulang pekerjaannya dan menyuruh kami membantu. Ibu juga sering lembur jahitan sampai larut malam terutama menjelang lebaran. 

           Saya sering membantu ayah mengubah besi kecil menjadi bentuk kotak-kotak sesuai dengan ukuran yang ditentukan untuk digunakan sebagai tiang besi membangun rumah atau kadang mengangkut batu bata dan pasir. Ibu pun menyuruh saya untuk memasang kancing, mengobras baju dan pekerjaan menjahit lainnya jika saya ingin tetap mendapatkan uang saku. 

            Itulah yang membuat saya dan kakak saya harus berbagi tugas mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga sejak kecil mulai menyapu, mencuci, menyetrika dan memasak. Bahkan mengecat rumah menjelang lebaran pun saya dan kakak saya yang mengerjakan, karena ayah pasti banyak orderan menjelang lebaran.

            Ayah saya tidak begitu paham dengan agama tapi ibu sedikit-sedikit mengerti tentang hukum sholat dan bisa membaca Al Quran walau tidak begitu lancar. Namun demikian, setiap hari ibu menyuruh saya mengaji di TPA di tetangga desa agar bisa membaca Al Qur’an. Anehnya walaupun ayah tidak sholat tetapi sering mengingatkan saya untuk sholat dan mengaji. 

          Sejak kecil beliau selalu menasehati saya untuk selalu rajin beribadah, jujur dan baik terhadap sesama.”Ayah nggak bisa sholat nggak bisa ngaji, ntar kamu kalau masuk surga panggil ayah ya!”, begitu pesan beliau setiap kali saya mengajak sholat. Walaupun sekarang akhirnya sudah rajin sholat, akan saya ceritakan kisah beliau akhirnya mau sholat di tulisan yang lain.

            Walaupun ayah tidak paham agama, alhamdulillah ada salah satu paman yang tinggal bersama kami yang banyak paham tentang agama. Saya diajari sholat dan mengaji bahkan kadang diajak ke beberapa masjid yang mengundang beliau untuk mengisi pengajian. Beliaulah orang yang pertama kali memberikan inspirasi tentang pendidikan khususnya pendidikan agama dan mengajari saya bahasa Jawa halus. 

         Paman saya selalu berpesan, “Pendidikan yang akan mengubah ekonomi kita, kamu harus pinter biar bisa jadi orang sukses. Kita nggak punya sawah, ayahmu pun nggak punya warisan apa-apa. Hanya pendidikan yang jadi harapan kita untuk lepas dari kemiskinan ini”. Paman saya ini bisa sekolah sampai SMP juga karena beasiswa kemudian masuk SPG juga karena beasiswa. Selain itu ada guru mengaji saya yang juga membantu biaya sekolah paman. Ayah saya hanya membiayai transport dan makan waktu itu karena sekolahnya jauh dan beda kabupaten. Alhamdulillah, paman saya pun juga terbiasa mandiri sejak kecil. 

            Setelah lulus dari SPG, paman saya menjadi agen koran “Wawasan” dan majalah “Estafet” sambil menunggu lowongan pekerjaan menjadi PNS, paman menjadi guru wiyatabakti di sebuah SD. Beliau yang mencari pelanggan baik di desa kami maupun di luar desa kami. Uang hasil tabungan mengajar beliau kumpulkan dan digunakan untuk membeli sepeda onthel.  

            Tahun 1987, saya dan kakak saya menjadi tukang loper koran membantu paman sekaligus untuk mencari tambahan uang saku. Saya  masih duduk di bangku SD waktu itu sedangkan kakak saya SMP. Kami berbagi tugas. Paman saya dan tetangga saya mengantar koran serta majalah ke pelanggan yang jauh rumahnya dengan mengendarai sepeda. Sedangkan saya dan kakak saya mengantar koran dan majalah di sore hari atau hari libur di tetangga terdekat yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

           Kami senang sekali ketika mengantar ke beberapa pelanggan yang baik dan perhatian kepada kami. Ada beberapa pelanggan yang masih saya ingat wajah dan namanya sampai sekarang yang sering memberikan hadiah kepada kami. Mereka kadang memberi uang jajan atau makanan bahkan mendoakan kami agar kelak kami jadi orang yang sukses. “Aamiin”, jawab kami serempak. 

         Walau hujan datang kami tetap mengantar koran dan majalah ke pelanggan. Kami bungkus koran tersebut dengan plastik rapat-rapat agar tidak basah. Pernah kami mengantar koran dalam keadaan hujan deras akan tetapi rumah pelanggan kosong dan nampaknya mereka sedang bepergian maka kami pulang. Hari berikutnya kami mendatangi rumah tersebut kembali. Bagi kami tak apalah kerja dua kali yang penting pelanggan koran puas dengan pelayanan kami.

            Nah lebih senang lagi kalau pas tanggal muda sekitar tanggal 1 sampai dengan tanggal 5. Sebagian besar pelanggan koran kami berprofesi sebagai PNS. Para pelanggan koran tersebut membayar uang koran dan majalah secara bulanan. Kami membawa buku khusus, pulpen dan tas kecil yang berisi uang. Untuk harga eceran waktu itu Rp. 350,00 per eksemplar dan untuk harga mingguan Rp. 750,00 per eksemplar. Sehingga mereka membayar Rp. 3000,00 setiap bulannya.

               Setelah uang terkumpul kami setorkan ke paman kami. Saya dan kakak saya masing-masing mendapat uang Rp. 10.000,00 setiap bulannya. Nominal tersebut sangat besar bagi anak kecil seperti kami. Sebagian ditabung sebagian lagi untuk jajan, membeli keperluan sekolah dan mentraktir teman di sekolah. Teman saya pasti menagih untuk ditraktir setiap tanggal muda. Dan saya bahagia sekali bisa mentraktir mereka dengan uang saku saya sendiri.

Selain mendapat tambahan uang, menjadi tukang loper koran juga memperoleh tambahan ilmu pengetahuan secara gratis. Saya masih ingat dengan persis setiap hari kami berebut membaca koran Wawasan halaman 6. Di halaman tersebut ada cerita bersambung yang sangat menarik bagi keluarga kami yang berjudul “Kamajaya”. Kalau sudah baca ceritanya pasti akan penasaran menunggu cerita selanjutnya. Benar-benar membuat kita ketagihan. Setelah membaca cerita “Kamanjaya” baru membaca berita yang lain mulai berita di halaman depan menuju halaman-halaman selanjutnya. 

Berawal dari membaca Koran Wawasan tersebut hobi membaca saya dimulai. Saya dan kakak saya suka sekali membaca koran dan melihat gambar-gambar di koran. Maklum waktu itu hiburan televisi belum banyak menawarkan program seperti sekarang. Apalagi koran hari Minggu merupakan hiburan tersendiri karena ada halaman khusus anak-anak.

            Ada juga keasyikan lain yang ditunggu-tunggu yaitu rubrik quiz. Pernah suatu hari ada quiz yang bekerja sama dengan obat flu. Kami sekeluarga mengirim quiz semua. Dan kami terkejut karena kami semua mendapat hadiah yang sama yaitu payung yang bertuliskan “Wawasan”. Payungnya juga sangat besar dan kuat. Betapa gembiranya hati kami karena harga payung pada waktu itu sangat mahal padahal di tanah kelahiran saya curah hujan tinggi. Jadi hadiah tersebut bermanfaat sekali bagi kami. Bahkan tetangga sering sekali meminjamnya. Mereka tahu kalau kami memiliki 5 payung baru.

            Tidak hanya hadiah dan uang yang kami dapat, tetapi juga saudara baru. Banyak sekali teman-teman paman sesama agen atau wartawan yang datang ke rumah untuk silaturohim bahkan menginap di rumah kami. Mereka adalah orang-orang yang sukses di bidang kepenulisan. Saya dan kakak saya bisa berlama-lama mendengar cerita tentang pengalaman mereka dalam dunia tulis menulis. Kadang-kadang mereka memperlihatkan tulisan mereka yang dimuat di koran. Mereka juga memperlihatkan photo mereka dimuat di koran tersebut dengan bangga. Nah, cerita pengalaman seperti ini yang memberikan inspirasi bagi saya dan memotivasi saya untuk bisa menulis seperti mereka.

Hobi membaca koran Wawasan tidak langsung membuat saya bisa menulis. Saya sering sedih kalau mendapat PR Bahasa Indonesia tentang mengarang. Saya bingung harus memulai dari mana. Namun, paman saya membimbing saya dengan sabar. Dia mengajari saya membuat kerangka karangan terlebih dahulu sebelum membuat karangan baru kemudian mengembangkannya. 

Waktu itu saya jengkel karena saya maunya dibuatkan langsung bukan malah muter-muter penjelasannya. Tapi paman saya tetap tidak mau, kalau saya ngambek dia langsung melotot yang membuat saya takut dan menuruti segala perintahnya. Beliau berpesan, “Kalau ingin bisa menulis ya harus banyak baca jangan cuma cerita Kamanjaya saja yang dibaca”, begitu sindir beliau ketika menyemangati agar saya juga harus membaca banyak buku agar bisa menulis.

Akhirnya saya bisa mengarang dengan teknik yang diajarkan paman saya. Setiap ada tes mengarang saya mesti minta nambah kertas. Waktu itu saya hanya berpikir yang tulisannya banyak nilainya tinggi, yang tulisannya rapi juga nilainya tinggi. Saya hanya fokus pada banyaknya kata yang bisa saya hasilkan dan kerapian dari tulisan saya. Saya belum paham tentang pemilihan kata harus bagus, saya juga belum paham tentang aturan kohesi dan koherensi. Pokoknya yang penting nulis. 

Ketika kelas 4 SD, wali kelas saya pada waktu itu menunjuk saya untuk mewakili sekolah mengikuti lomba mengarang di tingkat kecamatan. Walaupun belum juara 1 cukup menyemangati saya untuk belajar menulis lebih giat lagi. Saya membeli buku kecil yang khusus saya gunakan untuk menulis. Disitu saya tulis apa saja yang saya rasakan.

            Akan tetapi dibalik berbagai cerita suka menjadi tukang  loper koran, ada beberapa cerita duka didalamnya. Selain saya dan kakak saya yang membantu paman, ada lagi adik tiri ayah yang juga ikut membantu. Beliau satu ibu beda ayah dengan paman dan ayah saya. Waktu itu beliau kelas 6 SD. Beliau diminta paman mengambil koran di kantor pusat. Setelah turun dari bis beliau hendak menyeberang jalan menuju rumah. Tiba-tiba sebuah mobil menabraknya. Saya mendengar suara klakson dibunyikan dengan keras kemudian disusul suara rem yang melengking karena diinjak mendadak. Kami berlari menuju jalan raya yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah. Kami mencoba mencari tahu siapa yang tertabrak oleh mobil tersebut. 

              Alangkah terkejutnya kami ketika melihat banyak koran sudah bercampur dengan darah dan berhamburan di jalan raya. Dan seketika lemas badan ini melihat paman tiri kami sudah bersimbah darah dan dinyatakan meninggal oleh tetangga kami yang kebetulan bekerja sebagai perawat di rumah sakit. Nenek kami berkali-kali pingsan mendengar berita ini. Paman tiri kami tersebut adalah anak kesayangan nenek. Kata nenek anaknya rajin dan penurut. 

           Walaupun saya masih kecil waktu itu tapi saya sudah bisa menangis dan merasakan orang yang disayang meninggal. Saya merasa kehilangan sekali. Beliau sering membantu PR menggambar dan mewarnai karena saya sangat lemah di pelajaran tersebut. Dan seluruh keluarga besar kami harus ikhlas menerima kepergiannya.

            Hal yang menyedihkan berikutnya adalah ketika paman kami sebagai agen koran diterima menjadi PNS di suatu daerah terpencil. Di satu sisi kami senang karena paman menjadi PNS tetapi itu artinya beliau tidak bisa lagi menjadi agen koran dan majalah. Artinya pula saya dan kakak saya akan kehilangan pekerjaan sebagai tukang loper koran. 

              Kepemilikan agen koran akhirnya dijual ke orang lain yang rumahnya berseberangan dengan desa kami. Di situlah kami sedih kehilangan pekerjaan dan kehilangan kesempatan baca koran gratis. Sejak saat itu kami tidak pernah membaca koran lagi. Tapi kami bersyukur dengan menjadi tukang loper koran kami memiliki hobi membaca dan menulis.

            Beranjak remaja dan duduk di SMP saya menyalurkan hobi menulis di buku diary saya. Tetapi suatu hari semua tulisan di buku diary saya dibaca oleh kakak saya dan membuat saya sangat malu. Kakak saya mengetahui semua rahasia yang saya tulis di buku tersebut. Sejak saat itu saja tidak mau menulis di buku diary lagi takut rahasia saya terbongkar. Nyaris selama di SMP sejak kejadian itu saya tidak menulis lagi, kecuali surat kepada kakak saya yang kerja di Bogor.

            Setelah lulus SMP saya mendaftar di SMA favorit di kota saya. Akan tetapi setelah diterima saya tidak diijinkan orang tua saya. Kata mereka kalau di SMA tidak bisa langsung kerja harus kuliah dulu. Akhirnya orang tua menyuruh saya masuk SMK. Saya harus masuk SMK Negeri seperti kakak saya. Sedih sekali waktu itu. Saya mengurung diri di kamar. 

           Sejak kecil, saya memang punya cita-cita untuk kuliah. Ketika saya mengutarakan keinginan saya untuk kuliah, ibu langsung marah dan menarik saya di depan cermin, “Kamu tuh ngaca anak siapa, kamu hanya anak seorang buruh nggak usah mempunyai cita-cita yang tinggi. Orang tuamu ini hanya mengandalkan dengkul (lutut), kalau dengkul nya capek terus sakit  ya nggak dapat uang”. Saya pun menangis tanpa menjawab satu katapun. Waktu itu yang saya rasakan hanyalah perasaan kecewa yang teramat sangat. Di satu sisi saya kasihan dengan keadaan ekonomi keluarga, di sisi yang lain keinginan untuk kuliah begitu menggebu.

            Seminggu menjalani sekolah di SMK jurusan akuntansi tidak begitu menyenangkan sampai saya bertemu dengan teman sebangku saya yang juga mengalami nasib yang sama. Dari kesamaan itu kami menjadi akrab dan nyambung ketika bercerita. Kami saling menyemangati walaupun sekolah di SMK kita tidak boleh minder, itu prinsip yang kemudian kami sepakati bersama. Kelas satu hingga kelas 3 saya sekelas dan sebangku terus bersamanya. Alhamdulillah di SMK mendapat beasiswa sehingga bisa membantu orang tua membayar uang SPP bulanan. Di akhir kelulusan juga mendapat peringkat 2 kelas pararel untuk NEM tertinggi.

            Kebingungan setelah lulus SMK pun dimulai.  Orang tua menyuruh saya kerja di Bogor di sebuah perusahaan garmen mengikuti kakak saya. Kakak saya tidak kuliah. Dia tidak tega melihat kondisi keuangan keluarga. Apalagi waktu itu tahun 1998 sedang terjadi krisis moneter. Untuk makan sehari-hari kadang kami harus menggadaikan magic com, piring, kain jarit atau selusin sendok. “Aku dah capek denger ributnya bapak dan ibu, aku pengin kerja dan dapat uang banyak terus bisa kirim ke orang tua”, begitu jawab kakak saya ketika saya tanya alasan tentang ketidakmauannya untuk kuliah.

Nah, berbeda sekali dengan saya. Keinginan saya untuk kuliah begitu menggebu hingga tak terbendung lagi. Saya mengutarakan keinginan kuliah saya kepada ayah. Dengan bijaksana, beliau memberikan alasan yang membuat saya menunduk malu. Ibu pun menguatkan pendapat ayah. Faktor ekonomilah yang menjadi kendala saya tidak bisa kuliah. 

Saya kemudian pergi ke rumah sepupu ayah yang anaknya kuliah di Jogja. Saya minta tolong dicarikan kampus yang memberikan beasiswa. Alhamdulillah ada perguruan tinggi swasta di Jogja yang menerima saya dan memberikan beasiswa di jurusan Bahasa Inggris. Tapi orang tua masih juga keberatan. Mereka masih khawatir dengan biaya hidup saya di Jogja. Saya terus meyakinkan orang tua bahwa saya nanti bekerja sambil kuliah. Jika tidak kuat melanjutkan saya akan ambil cuti. Saya juga minta bantuan kakak yang di Bogor dan paman saya yang PNS untuk membantu biaya kuliah saya. Alhamdulillah mereka menyanggupi. Bahkan nenek saya membantu menyediakan beras agar saya bertahan hidup. Saya datang ke rumah nenek setiap dua minggu sekali.

Setelah 4 tahun akhirnya saya lulus. Selama kuliah saya bekerja menjadi guru TK di pagi hari kemudian les privat di sore dan malam hari. Khusus hari Sabtu Minggu saya kerja menjadi karyawan tata usaha di sebuah perguruan tinggi swasta. Di sini saya baru menyadari bahwa ilmu SMK saya bermanfaat. Beruntung saya menuruti orang tua masuk SMK waktu itu.

Walaupun kuliah dan bekerja saya juga menyukai organisasai. Saya gabung dengan beberapa organisasi di kampus. Saya ikut beberapa organisasi keislaman dan juga BEM Universitas. Dan ada satu organisasi yang mendukung hobi membaca dan menulis yang juga saya tekuni yaitu Reading and Writing Society. Di komunitas inilah saya kembali tersemangati untuk membaca banyak buku dan kemudian menuliskannya dengan bahasa saya sendiri dan kemudian mempresentasikan hasil review terhadap buku yang dibaca kepada teman-teman yang lain. 

Kebiasaan presentasi ini juga membuat saya lebih berani ketika harus mewakili teman-teman mengikuti lomba English Debate dan meraih juara ketiga. Selain itu kebiasaan membaca dan menulis membuat saya lebih mudah dalam mengerjakan skripsi saya. Sehingga dengan pertolongan Allah skripsi saya 2 bulan selesai saya kerjakan. Saya ambil cuti tidak bekerja karena ingin fokus mengerjakan skripsi. Alhamdulillah Allah menolong saya dan mempertemukan saya dengan orang-orang yang baik, yang meminjami komputer, yang meminjami sepeda motor, yang mengajak saya ke perpustakaan dengan buku-buku lengkap sesuai yang saya cari. Skripsi dengan judul “The Biographical Approach of House of Seven Gables” akhirnya selesai juga.

Tahun 2006 tepatnya, saya lulus dari kampus Universitas Ahmad Dahlan dengan predikat cumlaude. Orang tua saya, paman dan kakek saya datang ke gedung tempat saya di wisuda. Begitu mereka melihat saya memakai toga, mereka langsung sujud syukur di karpet yang ada di gedung tersebut. Otomatis semua mata memandang. Beberapa menit kami menjadi tontonan para wisudawan dan orang tua wisudawan pada waktu itu. Kami berpelukan terharu. Orang tua merasa tidak percaya akhirnya saya menjadi sarjana. Banyak yang ikut menangis melihat kami, terutama teman-teman satu kos yang tahu persis kondisi ekonomi saya. Kami semua bersyukur sampai pada titik ini. Ternyata hobi menulis diary turut serta membantu kemudahan dalam menulis skripsi. Tentu dengan ijin Allah.

Setelah lulus, saya masih melanjutkan bekerja menjadi karyawan tata usaha di tempat semula. Saya merasa hutang budi karena saya dipinjami uang untuk biaya wisuda. Saya merasa mendapatkan lingkungan bekerja yang sangat menjunjung tinggi asas kekeluargaan. Mereka juga mengangkat saya menjadi dosen tetap. Bahkan menawari beasiswa untuk S2 tetapi tidak full. Oleh karena itu saya menabung untuk menggenapkan beasiswa tersebut.

Akan tetapi di tengah perjuangan saya mengumpulkan tabungan untuk biaya S2 datanglah seorang laki-laki melamar saya. Saya kemudian istikharah dan saya memutuskan menikah dengan lelaki yang sekarang menjadi suami saya dengan uang tabungan tersebut. Tidak sampai 1 bulan dari perkenalan, proses lamaran dan akad nikah. Benar-benar super kilat hubungan kami. 

Sudah menjadi tradisi di desa kami jika tidak mampu menyelenggarakan resepsi pernikahan dan tidak menerima sumbangan memasang bendera merah. Jadi ketika ada bendera merah di depan rumah kami tetangga tidak datang yang hadir hanya keluarga besar, kepala keluarga satu RW dan beberapa teman saya. Hanya ada akad nikah, pengajian dari seorang ustadz, sambutan tokoh masyarakat kemudian makan siang. Acara hanya berlangsung sehari saja di sebuah masjid di sebelah rumah saya. Sederhana sekali acaranya. Alhamdulillah sah.

Dari pernikahan di tanggal 15 Juli 2007 sampai sekarang, kami dikaruniai 3 anak yaitu Syahida Asma Amanina (10 tahun), Daffa Izzuddin Asy Syidqi (8 tahun) dan Fachri Muhammad Arsyad (5 tahun). Dan sekarang saya sedang mengandung anak keempat usia 9 bulan. Selama 10 tahun saya tinggal di Jogja. Kemudian orang tua menyuruh saya mendaftar PNS. Awalnya saya tidak mau. Saya khawatir tidak bisa membagi waktu untuk anak-anak. Akan tetapi demi orang tua saya ikut tes PNS. Dan akhirnya saya diterima menjadi guru di SMP N 2 Leksono Wonosobo.

Awalnya suami menyuruh mundur karena daerahnya terpencil jauh dari perkotaan. Apalagi suami masih di Jogja kerjanya. Tetapi dengan dukungan orang tua saya akhirnya tetap mengambil posisi tersebut. Selama 2,5 tahun kami LDR. Suami seminggu sekali pulang. Saya kontrak rumah di dekat sekolah dengan 2 anak saya waktu itu.

Selang 2,5 tahun Alhamdulillah bisa mutasi ke SMP N 2 Selomerto Kabupaten Wonosobo. Tempatnya di pinggir jalan. Kami pindah kontrakan lagi mendekati sekolah. Lama-kelamaan suami mungkin kasihan dengan saya dan ikut pindah di Wonosobo. Suami laju Wonosobo-Jogja setiap hari kadang 2 hari sekali baru pulang.

Di Wonosobo inilah kesempatan menulis kembali muncul. Awalnya saya sering menulis di buletin sebuah organisasi muslimah, kemudian saya bagi-bagi ke teman kantor. Mungkin karena kepala sekolah melihat saya sering menulis saya diberi amanah untuk mengampu ekstrakurikuler Jurnalistik. Saya sebenarnya buta dengan kepenulisan jurnalistik. Dari situlah saya kemudian mengundang wartawan untuk mengisi workshop tentang jurnalistik. Saya mendapatkan banyak materi tentang straight news, feature news dan opini. 

Berbekal ilmu jurnalistik yang seujung kuku itu saya kemudian mencoba membuat beberapa tulisan dan mengirimkan ke beberapa lomba. Alhamdulillah meraih Juara 3 Lomba Menulis Artikel tingkat Kabupaten dan Juara 3 Lomba Menulis Essay tingkat Propinsi. Kemudian berani mengirim tulisan ke Wawasan dan dimuat di rubrik Guru Menulis dengan judul “Guru, Generasi Alpha dan Indonesia Emas 2045” (Dimuat di Koran Wawasan Hari Selasa, 14 November 2017). Sekarang mulai berani mengirim di Jateng Pos Alhamdulillah dimuat di surat kabar tersebut dengan judul “Belajar Speaking Menyenangkan dengan Model Two Stay Two Stray” (dimuat hari Jum'at tanggal 2 Maret 2018).

Dengan sedikit pengalaman menulis saya beranikan diri untuk membimbing siswa-siswi yang ikut ekstrakurikuler Jurnalistik dan Photografi. Kami di tim Jurnalistik membuat buletin sekolah sebagai wadah untuk menyalurkan bakat dan minat di dunia kepenulisan. Saya juga sambil belajar terutama masalah ejaan yang masih amburadul. Biasanya saya meminta bantuan guru bahasa Indonesia untuk mengoreksi. 

Dari buletin yang dibuat kami beranikan untuk mengikuti lomba karya jurnalistik. Alhamdulillah beberapa kali menjuarai baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Prestasi dari tim jurnalistik sampai sekarang diantaranya Juara 2 lomba jurnalistik tingkat nasional (Medali Perak) tahun 2014 di Jogjakarta, Juara 2 lomba penulisan berita tingkat kabupaten tahun 2014, Juara 3 lomba fotografi tahun 2014, Juara 1 lomba karya tulis ilmiah tingkat kabupaten dan maju propinsi tahun 2014.

 Selain itu juga meraih Juara 3 Lomba Jurnalistik tingkat nasional (Medali Perunggu) tahun 2015, Juara 1 Lomba Jurnalistik tingkat kabupaten tahun 2016, Juara 1 Lomba Photografi tingkat kabupaten tahun 2016, Juara 1 Lomba Mading Digital Tema Anti Narkoba tingkat Kabupaten tahun 2016, Juara 1 Lomba Mading Digital Tema Generasi Berencana tingkat Kabupaten tahun 2016, Juara 2 Lomba Writing Contest Jenis Recount text tingkat Kabupaten tahun 2016, Juara 1 Lomba Penelitian Siswa Nasional Tingkat Propinsi tahun 2017, Juara 2 (Medali Perak) Lomba Penelitian Siswa Nasional Tingkat Nasional tahun 2017 dan Juara 1 Lomba Karya Ilmiah Remaja Tingkat Propinsi tahun 2017.

Dari prestasi tim jurnalistik di sekolah kami tersebut ternyata mendapat apresiasi dari pemerintah kabupaten Wonosobo melalui beberapa penghargaan berupa piagam dan sejumlah uang.  Penghargaan yang pernah kami terima diantaranya: Penghargaan kepada tim Jurnalistik dari Bupati Wonosobo tahun 2014, dari ketua DPRD Wonosobo tahun 2014, dari Gubernur Jawa Tengah tahun 2015 dan dari ketua DPRD Wonosobo tahun 2015. 

Sejak tahun 2016 kami sangat bersedih karena Lomba Karya Jurnalistik Nasional dihilangkan karena kendala pendanaan. Selain itu karena alasan pungutan liar (pungli) buletin sekolah juga dilarang terbit. Lengkaplah sudah penderitaan kami di dunia tulis menulis. Itu membuat siswa saya tidak semangat lagi untuk menulis. Saya terus memotivasi mereka agar tetap semangat menulis walaupun tidak ada lomba. Saya menyerankan mereka untuk menulis di facebook atau media sosial yang lain.

Sebagai guru tuntutan untuk menulis di beberapa tahun terakhir ini juga sangat didengungkan oleh pemerintah. Setelah mengikuti pelatihan penyusunan Penelitian Tindakan Kelas yang diselenggarakan oleh Dinas Kabupaten, saya termotivasi untuk menulis PTK. Saya mencoba membuat PTK dengan judul “Peningkatan Kemampuan Berbicara dan Prestasi Belajar Bahasa Inggris melalui Model Two Stay Two Stray Kelas VIIB SMP Negeri 2 Selomerto Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016”. Dan Alhamdulillah berhasil diseminarkan di depan rekan guru satu sekolah dan mengundang beberapa guru dari luar. Rasanya lega luar biasa ketika tulisan kita mendapat apresiasi dari orang lain. Kemudian tulisan tersebut saya kirim ke penerbit jurnal. Alhamdulillah masuk di Jurnal Ilmiah tingkat provinsi yang sudah mempunyai ISBN. 

Selain itu artikel saya  juga pernah dimuat di majalah GOW Kabupaten Wonosobo dengan judul “Dengan Penerapan MIOnKlok Ibu Mampu Mencetak Generasi Penentu Peradaban di Era Digital” dan essay saya dimuat di majalah Salimah dengan judul “Mahalnya Waktu Orang Tua untuk Anak”. Selain menulis artikel saya belajar menulis buku dan sudah dicetah tahun 2016 dengan judul  English For Children. Tapi saya merasa belum puas, saya masih pengin belajar menulis dari berbagai pelatihan untuk memperindah tulisan saya. Saya masih iri dengan tulisan para penulis yang sangat indah dalam memilih kosakata. Saya masih jauh ketinggalan.

Di tahun 2015, ada tawaran beasiswa dari Dinas Pendidikan untuk melanjutkan S2. Saya mencoba ijin dengan suami dan Alhamdulillah diijinkan. Di tahun 2017 alhamdulillah lulus dengan predikat Lulusan terbaik dan cumlaude. Judul Thesis yang saya ambil“The Effect of Concept Mapping in Improving Reading Comprehension Viewed From Student’s Motivation (An Experimental Study in the Ninth Grade of State Junior High School 2 Selomerto, Wonosobo in the First Semester of Academic Year 2016/ 2017. Sampai akhir lulus ternyata beasiswa tidak turun, tetapi Allah mampukan saya untuk membayar biaya kuliah. Saya tetap mendapat gaji dari pemerintah karena saya ambil kuliah di akhir pekan dan saya masih bekerja 5 hari di sekolah. Sungguh melelahkan, apalagi waktu libur yang harusnya bersama keluarga diambil untuk kuliah.

Sungguh, semua tulisan ini ada karena bantuan Allah. Saya hanya ingin anak-anak saya kelak mempunyai kebiasaan membaca dan menulis. Saya hanya ingin anak-anak saya tidak kecanduan gadget, biarlah mereka kecanduan buku dan kecanduan menulis. Biarlah sekarang uang yang ada habis untuk membeli buku-buku bergizi dan mendirikan perpustakaan di rumah. Daripada membeli banyak mainan dan akhirnya dibuang atau jajan yang tidak sehat. Semoga suatu saat nanti kami bisa mendidik anak-anak kami untuk menjadi penulis.. Seorang tukang loper koran dengan penuh keterbatasan saja mau membaca dan menulis. Apalagi anak-anak jaman sekarang yang penuh dengan fasilitas harus bisa menghasilkan karya-karya hebat yang akan merubah dunia dengan tulisannya. 
Wallahu a’lam bi showab

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Semoga bisa menginspirasi yang lain bu. Ayo semangat menulis untuk perubahan

      Hapus
  2. Kalo saya ga bs nulis Bu, tp guru skrg d tuntut harus bs menulis.. jadi, harus belajar banyak ni dr Bu puji

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga sedang belajar kok bu. Ayo bareng-bareng belajar

      Hapus