Follow Us @soratemplates

Minggu, 11 Maret 2018

Mengatasi Komunitas Punk yang Meresahkan Masyarakat


Ilustrasi photo (http://3.bp.blogspot.com)


Kenakalan pelajar tentu sangat beragam jenisnya mulai dari tawuran antar pelajar, mencoret-coret dinding sekolah, mencuri, bolos sekolah, merusak fasilitas sekolah, perbuatan zina dan kekerasan. Selain itu ada juga pelajar yang melakukan penyalahgunaan narkoba serta aktif di komunitas-komunitas yang cenderung negatif seperti komunitas anak-anak punk.

Peristiwa Meninggalnya Seorang Pelajar SMP

Sebagai Pembina OSIS di sebuah SMP yang juga diberi amanah mengurusi masalah kesiswaan tentu masalah kenakalan pelajar seperti ini sering sekali muncul. Alhamdulillah mempunya rekan kerja Guru Bimbingan Konseling yang sangat kooperatif dan bijaksana sehingga segala permasalahan bisa terkomunikasikan dengan baik kepada orang tua.

Namun, sekitar 1 bulan yang lalu kami dikagetkan dengan laporan tentang komunitas punk yang mulai digandrungi oleh siswa kami di sekolah. Bahkan sampai menyebabkan kematian secara tidak langsung. Sebut saja namanya Y. Y adalah siswi kelas VII di sekolah kami. Sering sekali membolos tanpa izin selama beberapa hari. Kadang membuat surat ijin yang ia tanda tangani sendiri. Kebetulan penulis juga mengajar siswi tersebut jadi cukup paham dengan sikapnya di kelas.

Karena sering ijin, maka wali kelas dan Guru BK melakukan kunjungan ke rumah Y dengan memberitahu lewat surat 2 hari sebelumnya. Begitu terkejutnya kami ketika mengetahui latar belakang keluarga Y. Ayah Y adalah seorang supir bus malam yang belum tentu 3 hari sekali pulang. Ibu Y kerja di luar provinsi yang jarang sekali pulang. Y tinggal dengan neneknya yang sudah tua renta. 

Menurut neneknya ibu Y sudah menikah lagi. Bisa dibayangkan kehidupan Y setiap hari kurang kasih sayang dan perhatian, belum lagi kondisi ekonomi yang bisa dikatakan kurang mampu. Untuk ongkos naik angkot ke sekolah saja Y sering tidak diberi oleh ayahnya.

Nah, dari latar belakang kehidupan keluarga yang tidak begitu kondusif, akhirnya Y bergabung di komunitas anak punk. Menurut teman Y, ia aktif di komunitas tersebut karena diajak temannya. Ia merasa nyaman dan diperhatikan di dalam komunitas tersebut. Y juga merasa di komunitas anak punk mendapatkan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan di rumah. Ia sering ikut konser-konser musik yang diselenggarakan anak punk baik di dalam kota maupun luar kota.

Hingga suatu hari Y tidak sekolah selama 5 hari. Kami konfirmasi ke ayahnya malah ayahnya tidak tahu kalau anaknya tidak pulang karena sedang menyopir bus malam hingga beberapa hari. Kami sangat prihatin dengan kondisi Y. Kemudian kami kirim foto Y ke group wali murid dan siswa terkait keberadaan Y yang tidak diketahui. Mana tahu dengan membagi foto ada yang mengetahui keberadaan Y. Tiba-tiba muncul berita di koran dan Facebook telah terjadi kecelakaan di Semarang dan korban meninggal bernama Y.

Kecelakaan terjadi karena Y ingin naik truk gandeng secara gratis tetapi terpeleset sehingga terlindas ban truk belakang sebelah kiri. Akan tetapi temannya selamat sehingga bisa menceritakan kronologis kecelakaan. Y dan temannya tidak punya uang sama sekali. Ia pergi ke Semarang dari Wonosobo dengan mencari tumpangan gratis mobil pick up berganti dari satu mobil ke mobil yang lain. 

Kebiasaan seperti itu sudah sangat lazim dilakukan anak-anak punk. Kadang dengan mengamen di bus agar ongkos bus gratis. Y ke Semarang ingin mencari ibunya. Tapi belum sampai bertemu ibunya ia sudah meninggal.

Dari kejadian Y ini, sebagai guru tentu sangat prihatin, sedih dan miris. Y adalah satu kasus yang terungkap. Bisa jadi masih banyak siswa-siswi yang secara sembunyi-sembunyi ikut komunitas anak punk di sekolah kami. Hanya saja karena keterbatasan informasi kami belum mengetahui siapa saja yang ikut aktif. Sebenarnya seperti apa komunitas anak punk dan karakternya sehingga komunitas ini dianggap meresahkan bagi pelajar.

Nah, jumlah mereka sekarang ini semakin bertambah bahkan mulai mengajak kalangan pelajar. Tentu saja konsentrasi pelajar dalam menuntut ilmu menjadi tergangggu. Wajar saja ketika para santri yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren dan Forum Komunikasi Madrasah/ Sekolah Desa Kajen di Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati mendeklarasikan diri menolak semua kegiatan atau keberadaan anak punk di kawasan wilayah tersebut.


Deklarasi tersebut mereka lakukan sebagai salah satu upaya mencegah terhadap masuknya kegiatan yang dianggap bisa berpengaruh negatif terhadap kegiatan santri. Walaupun persentase santri yang ikut sedikit tetapi harus ada upaya pencegahan sejak dini dan untuk jangka panjang.

Penyebab Fenomena Punk

Komunitas anak punk adalah sebuah fenomena sosial yang tengah mewabah di seluruh kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Wonosobo. Mereka berpenampilan ekstrem, seperti ambut mohawk ala suku Indian (rambut paku) dengan warna-warni yang terang / menyolok, sepatu boots, memakai rantai dan spike (gelang berduri), body piercing (tindik), jaket kulit, celana jeans ketat, baju yang lusuh, atau t-shirt hitam. Penampilan tersebut membuat setiap mata yang memandang merasa ganjil, curiga dan menyeramkan.

Berbagai kesan dan stigma negatif masyarakat ditujukan terhadap komunitas anak muda ini. Mereka dianggap kriminal, preman, brandal, perusuh, pemabuk, pengobat, urakan, dan orang-orang yang dianggap berbahaya. Kadang ketika mereka melihat konser musik, bersenggolan sedikit saja bisa menimbulkan perkelahian antar mereka. Lalu kenapa banyak pelajar yang tertarik untuk ikut dalam komunitas ini?

Sebagaimana kita ketahui bahwa pelajar khusunya SMP berada pada fase remaja, di mana emosi mereka masih labil. Upaya pencarian jati diri terus menuntut mereka untuk mencari apa potensi yang ada di dalam diri mereka masing-masing. Pada masa inilah seseorang sangat rapuh, mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Seiring dengan pesatnya perkembangan punk yang ada di Indonesia, komunitas punk mampu menyihir pelajar Indonesia untuk masuk ke dalam komunitas punk dengan mengatasnamakan kebebasan. Akan tetapi kebebasan yang kebablasan.

Keberadaan anak-anak punk, bukti salah pembinaan dari orang tua atau salah dalam pergaulan. Anak-anak punk tidak hanya berasal dari kalangan tidak mampu, banyak juga yang orang tuanya kaya, bahkan ada dari keluarga pejabat.

Di sinilah muncul sebuah pertanyaan yang perlu dicermati. Jika memang mereka orang mampu, mengapa sampai turun ke jalanan mencari uang dengan jalan mengamen. Apa yang melatarbelakanginya? atau apa sesungguhnya yang mereka cari?. Jawabannya bisa karena berbagai alasan, bisa jadi karena orang tuanya sibuk bekerja atau salah dalam mendidik.

Inspirasi Penyelesaian Punk di daerah lain

Belajar dari Legiman Muaz (56), pria yang pernah mendidik anak punk di kediamannya Kampung Sukarasa, Desa Arjasari Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung, mengatakan, kebanyakan anak punk merupakan anak yang menderita karena broken home atau pernah dikecewakan oleh orang tuanya, sehingga mereka memilih jalanan sebagai hidupnya.

Kebanyakan orang menjauhi mereka, karena sudah dianggap sampah. Bahkan, orang tua atau keluarganya malah mengusirnya. Padahal, jalanan menjadi pilihan anak punk karena tidak menemukan kasih sayang atau bahkan kecewa dengan keluarganya sendiri, seperti ibu-bapaknya bercerai, atau ditinggal pergi oleh salah satu dari mereka.

Karena masalah di keluarga, mereka tidak punya tempat untuk berbagi. Di sisi lain banyak anak punk di jalanan yang mempunyai nasib serupa, sehingga mereka lebih nyaman di jalanan walaupun hidup terlunta-lunta. Mereka kadang menempati rumah atau lahan kosong.

Kasih sayang diberikan oleh Legiman kepada anak-anak Punk yang pernah dibinanya. Bahkan, dia memposisikan diri sebagai ayah dan istrinya yakni Fatimah (34) sebagai ibu. Legiman berpendapat bahwa sampah yang tidak berharga saja ketika didaur ulang bisa menjadi barang bernilai. Apalagi manusia yang mempunyai hati.

Pada awalnya, kata Legiman merubah perilaku anak yang sudah terbiasa hidup di jalanan cukup sulit. Pasalnya, mereka terbiasa hidup tanpa aturan, disisi lain, masyarakat mempunyai norma-norma yang harus dipatuhi. Namun, untuk merubah sikap dan perilaku mereka tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan, tapi mempunyai proses cukup panjang.

Mengarahkan mereka ke kegiatan positif juga harus dilakukan, supaya anak yang sudah terbiasa di jalanan bisa melupakannya dan menggantinya dengan kegiatanyang  bermanfaat. Legiman memberi kegiatan usaha mengurus lele dan kegiatan usaha lainnya, sehingga kehidupan jalanan perlahan terlupakan.

Dengan pola-pola seperti itu, Legiman berhasil merubah 20 anak punk menjadi orang yang berguna. Menurutnya, semua anak yang pernah didiknya sekarang sudah kembali diterima oleh orang tuanya, Bekerja dan hidup menjadi orang pada umumnya. Bahkan, beberapa diantaranya bekerja di salah satu kafe besar di Kota Bandung. Ternyata kasih sayang menjadi kunci keberhasilannya tersebut.

Sedangkan Pemerintah Kota Kediri memiliki cara lain untuk mengubah masa depan anak jalanan dan anak punk. Pemerintah mendirikan Rumah Karya. Rumah Karya itu dijadikan wadah bagi peningkatan kreativitas dan pembelajaran keterampilan anak jalan dan anak punk demi masa depannya.

Mereka diajak belajar bahasa Inggris, membatik dan keterampilan lainnya sesuai bakat dan minat. Di rumah ini, para anak jalanan dan anak punk bisa mengikuti kejar paket A, B maupun C untuk pengembangan bekal pendidikannya.

Selain itu, rumah karya ini digagas sebagai solusi kondisi anak jalanan yang sebagian besar putus sekolah akibat broken home dan kenakalan remaja lainnya. Setelah mereka masuk dalam wadah Rumah Karya, tentu tidak akan mengganggu pelajar lagi karena mereka sudah memiliki kesibukan sendiri,

Program ini sejalan dengan perwujudan kota ramah anak yang kini digadang-gadang Pemkot Kediri. Sementara program ini disambut positif anak jalanan termasuk anak punk. Mereka antusias menanti program yang siap diberikan kepadanya.

Hingga kini, 15 anak jalanan sudah tergabung di rumah karya Kota Kediri. Diharapkan ke depannya dengan Rumah Karya, tidak akan ada lagi anak jalanan dan anak punk di Kota Kediri.

Solusi Mengatasi Komunitas Punk yang Meresahkan Pelajar



Melihat fenomena ini, ternyata keberadaan komunitas anak punk dipandang sebagai masalah yang meresahkan. Oleh karena itu, perlu upaya merazia mereka dilakukan dimana-mana dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Guru ataupun pihak sekolah tidak akan sanggup bekerja sendiri. Perlunya kerjasama dengan orang tua, masyarakat dan juga pemerintah. Lalu darimana memulai mengatasi permasalahan ini?

1. Pemerintah

Satpol PP Kabupaten Wonosobo sebagai perwakilan pemerintah perlu melakukan razia secara rutin terhadap komunitas anak punk. Tetapi jangan hanya ditangkap, ditanya sana-sini, diintimidasi, dimarahi, dan kemudian disuruh pulang.

Atau kadang lebih memprihatinkan, meraka ditangkap hanya untuk dipukuli agar jera berada di jalanan. Semua itu tak pernah menyelesaikan masalah. Jumlah mereka bukan berkurang, tapi justru semakin bertambah jumlahnya. Upaya represif aparat ini malah semakin menambah kebencian dan dendam mereka. Yakinlah, masalah komunitas ini tidak akan selesai di ujung senapan apalagi pentungan.

Oleh karena itu, perlu upaya tindak lanjut pembimbingan setelah dilakukan pendataan tentunya. Pembimbingan yang intensif jauh lebih berhasil. Pemerintah perlu memberikan perhatian dan kepedulian terhadap mereka, sebelum anak-anak muda ini kehilangan masa depannya.

Jangan sampai disebut ”pahlawan kesiangan” karena terlambat melakukan penanganan. Pemerintah Wonosobo haruslah menjadi tangan yang pertama menyentuh mereka, menjadi kawan dan mendampingi mereka menuju kehidupan terbaik bagi mereka sebagai anak-anak bangsa. Belajar dari kabupaten lain dengan mendirikan Rumah Karya untuk memberikan wadah kreativitas bagi mereka agar tidak hidup di jalanan. Terlebih lagu Kabupaten Wonosobo juga telah mencanangkan sebagai Kabupaten yang Ramah Anak.

Penulis sendiri pernah aktif di sebuah Rumah Singgah yang menangani belasan anak jalanan. Ternyata tidak mudah melatih mereka. Ada yang tidak betah dan kembali ke jalanan karena mereka terbiasa mendapatkan uang dengan cepat dengan cara mengamen.

Sedangkan ketika mereka membuat karya, uang tidak bisa mereka dapatkan dengan segera tetapi perlu proses panjang mulai dari pembuatan sampai penjualan. Ini yang membuat mereka tidak sabar. Oleh karena itu, perlu dipilih instruktur yang sabar dan telaten dalam membimbing mereka.

2. Lingkungan Masyarakat

Masyarakat tidak boleh menjauh dari mereka. Mereka adalah kaum yang ”dimarginalkan” atau ”memarginalkan dirinya”, yang saat ini membutuhkan sentuhan tangan-tangan halus yang penuh pengertian dan kasih sayang.

Untuk itu, keberadaan mereka perlu dipahami secara mendalam, karena kehadiran mereka adalah perlawanan terhadap berbagai keadaan dalam masyarakat. Mereka bukan sekedar sekelompok muda-mudi yang berpenampilan ”edan”, dan sederet stigma negatif.

Mereka sebenarnya punya potensi. Melalui PKK biasanya penulis sampaikan tentang fenomena anak-anak punk ini agar orang tua lebih waspada. Apabila ada anak tetangga yang ikut komunitas tersebut tetap disapa dan jangan dikucilkan.

3. Guru

Tugas guru di sekolah adalah membina anak-anak terutama yang sudah terlibat dalam komunitas anak-anak punk agar bisa keluar dari komunitas tersebut. Berikan perhatian dan pengarahan kepada mereka, jika perlu kumpulkan anak-anak tersebut, kemudian diberikan tambahan jam pembinaan secara rutin.

Bagi anak yang kurang mampu, di sekolah kami dikumpulkan kemudian dilatih membuat souvenir alat musik bundengan dan dijual. Keuntungannya 100% diambil oleh mereka. Semoga dengan membekali mereka dengan pelatihan kewirausahaan, mereka tidak ngamen di jalanan lagi.

Kemudian bagi siswa lainnya, tetap diberi pengarahan. Pengarahan biasanya dilakukan pada saat upacara bendera, disampaikan Guru BK di setiap kelas maupun guru mata pelajaran sebelum mengajar. Sekolah juga sering mengundang pihak kepolisian untuk memberikan pengarahan kepada siswa kami.

4. Orang Tua

Lalu yang terakhir adalah orang tua. Belajar dari apa yang dilakukan Legiman ternyata kunci keberhasilannya adalah kasih sayang. Apabila terjadi perceraian usahakan tetap memberikan perhatian. Orang tua mungkin memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan pasangan, tetapi jagalah jangan sampai memperlihatkan percekcokan di depan anak-anak.

Bagi orang tua yang keduanya bekerja dan sangat sibuk. Tetap harus mengalokasikan waktu untuk memperhatikan anak setiap hari. Jangan hanya waktu sisa, tetapi waktu yang dialokasikan. Jika waktu dan jarak tidak memungkinkan, minimal menjalin komunikasi lewat telepon untuk mengontrol aktivitas anak sehari-hari. Sehingga ketika ada perubahan sedikit saja pada diri anak, bisa terdekteksi dan kemudian diarahkan kembali.

Penutup

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak seluruh kalangan untuk bersinergi, baik pemerintah, masyarakat, sekolah maupun para orang tua untuk lebih memperhatikan dan peduli terhadap masalah komunitas anak punk ini. Siapa lagi yang harus lebih peduli terhadap komunitas ini selain kita, karena komunitas ini menjadi masalah sosial yang berdekatan dengan permasalahan anak-anak kita.  Jika semua pihak bersinergi maka komunitas anak-anak punk yang meresahkan di kalangan pelajar bisa diatasi dan bisa diarahkan potensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar