Kenakalan
pelajar tentu sangat beragam jenisnya mulai dari tawuran antar pelajar,
mencoret-coret dinding sekolah, mencuri, bolos sekolah, merusak fasilitas
sekolah, perbuatan zina dan kekerasan. Selain itu ada juga pelajar yang
melakukan penyalahgunaan narkoba serta aktif di komunitas-komunitas yang
cenderung negatif seperti komunitas anak-anak punk.
Peristiwa Meninggalnya Seorang Pelajar SMP
Sebagai
Pembina OSIS di sebuah SMP yang juga diberi amanah mengurusi masalah kesiswaan
tentu masalah kenakalan pelajar seperti ini sering sekali muncul. Alhamdulillah
mempunya rekan kerja Guru Bimbingan Konseling yang sangat kooperatif dan
bijaksana sehingga segala permasalahan bisa terkomunikasikan dengan baik kepada
orang tua.
Namun,
sekitar 1 bulan yang lalu kami dikagetkan dengan laporan tentang komunitas punk
yang mulai digandrungi oleh siswa kami di sekolah. Bahkan sampai menyebabkan
kematian secara tidak langsung. Sebut saja namanya Y. Y adalah siswi kelas VII
di sekolah kami. Sering sekali membolos tanpa izin selama beberapa hari. Kadang
membuat surat ijin yang ia tanda tangani sendiri. Kebetulan penulis juga
mengajar siswi tersebut jadi cukup paham dengan sikapnya di kelas.
Karena
sering ijin, maka wali kelas dan Guru BK melakukan kunjungan ke rumah Y dengan
memberitahu lewat surat 2 hari sebelumnya. Begitu terkejutnya kami ketika
mengetahui latar belakang keluarga Y. Ayah Y adalah seorang supir bus malam
yang belum tentu 3 hari sekali pulang. Ibu Y kerja di luar provinsi yang jarang
sekali pulang. Y tinggal dengan neneknya yang sudah tua renta.
Menurut neneknya
ibu Y sudah menikah lagi. Bisa dibayangkan kehidupan Y setiap hari kurang kasih
sayang dan perhatian, belum lagi kondisi ekonomi yang bisa dikatakan kurang
mampu. Untuk ongkos naik angkot ke sekolah saja Y sering tidak diberi oleh
ayahnya.
Nah,
dari latar belakang kehidupan keluarga yang tidak begitu kondusif, akhirnya Y
bergabung di komunitas anak punk. Menurut teman Y, ia aktif di komunitas
tersebut karena diajak temannya. Ia merasa nyaman dan diperhatikan di dalam
komunitas tersebut. Y juga merasa di komunitas anak punk mendapatkan sesuatu
yang tidak pernah ia dapatkan di rumah. Ia sering ikut konser-konser musik yang
diselenggarakan anak punk baik di dalam kota maupun luar kota.
Hingga
suatu hari Y tidak sekolah selama 5 hari. Kami konfirmasi ke ayahnya malah
ayahnya tidak tahu kalau anaknya tidak pulang karena sedang menyopir bus malam
hingga beberapa hari. Kami sangat prihatin dengan kondisi Y. Kemudian kami
kirim foto Y ke group wali murid dan siswa terkait keberadaan Y yang tidak
diketahui. Mana tahu dengan membagi foto ada yang mengetahui keberadaan Y. Tiba-tiba
muncul berita di koran dan Facebook telah terjadi kecelakaan di Semarang dan
korban meninggal bernama Y.
Kecelakaan
terjadi karena Y ingin naik truk gandeng secara gratis tetapi terpeleset
sehingga terlindas ban truk belakang sebelah kiri. Akan tetapi temannya selamat
sehingga bisa menceritakan kronologis kecelakaan. Y dan temannya tidak punya
uang sama sekali. Ia pergi ke Semarang dari Wonosobo dengan mencari tumpangan
gratis mobil pick up berganti dari
satu mobil ke mobil yang lain.
Kebiasaan seperti itu sudah sangat lazim
dilakukan anak-anak punk. Kadang dengan mengamen di bus agar ongkos bus gratis.
Y ke Semarang ingin mencari ibunya. Tapi belum sampai bertemu ibunya ia sudah
meninggal.
Dari
kejadian Y ini, sebagai guru tentu sangat prihatin, sedih dan miris. Y adalah
satu kasus yang terungkap. Bisa jadi masih banyak siswa-siswi yang secara
sembunyi-sembunyi ikut komunitas anak punk di sekolah kami. Hanya saja karena
keterbatasan informasi kami belum mengetahui siapa saja yang ikut aktif.
Sebenarnya seperti apa komunitas anak punk dan karakternya sehingga komunitas
ini dianggap meresahkan bagi pelajar.
Nah, jumlah mereka sekarang ini semakin bertambah bahkan mulai mengajak kalangan pelajar. Tentu saja konsentrasi pelajar dalam menuntut ilmu menjadi tergangggu. Wajar saja ketika para santri yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren dan Forum Komunikasi Madrasah/ Sekolah Desa Kajen di Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati mendeklarasikan diri menolak semua kegiatan atau keberadaan anak punk di kawasan wilayah tersebut.
Deklarasi tersebut mereka lakukan sebagai salah satu upaya mencegah terhadap masuknya kegiatan yang dianggap bisa berpengaruh negatif terhadap kegiatan santri. Walaupun persentase santri yang ikut sedikit tetapi harus ada upaya pencegahan sejak dini dan untuk jangka panjang.
Penyebab Fenomena Punk
Komunitas anak punk adalah sebuah fenomena sosial yang
tengah mewabah di seluruh kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Wonosobo. Mereka berpenampilan ekstrem, seperti ambut mohawk ala
suku Indian (rambut paku) dengan warna-warni yang terang / menyolok, sepatu boots, memakai rantai dan spike (gelang
berduri), body piercing (tindik), jaket kulit,
celana jeans ketat, baju yang lusuh, atau t-shirt hitam. Penampilan tersebut
membuat setiap mata yang memandang merasa ganjil, curiga dan menyeramkan.
Berbagai kesan dan stigma negatif masyarakat ditujukan
terhadap komunitas anak muda ini. Mereka dianggap kriminal, preman, brandal,
perusuh, pemabuk, pengobat, urakan, dan orang-orang yang dianggap berbahaya. Kadang
ketika mereka melihat konser musik, bersenggolan sedikit saja bisa menimbulkan
perkelahian antar mereka. Lalu kenapa
banyak pelajar yang tertarik untuk ikut dalam komunitas ini?
Sebagaimana kita ketahui bahwa pelajar khusunya SMP
berada pada fase remaja, di mana
emosi mereka masih labil.
Upaya pencarian jati
diri terus menuntut mereka untuk mencari apa potensi yang ada di dalam diri mereka
masing-masing. Pada masa inilah
seseorang sangat rapuh, mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Seiring
dengan pesatnya perkembangan punk yang ada di Indonesia, komunitas punk mampu
menyihir pelajar Indonesia
untuk masuk ke dalam komunitas punk dengan mengatasnamakan kebebasan.
Akan tetapi kebebasan yang kebablasan.
Keberadaan anak-anak punk, bukti salah pembinaan dari orang tua atau salah dalam
pergaulan. Anak-anak punk tidak hanya berasal dari kalangan tidak mampu, banyak
juga yang orang tuanya kaya, bahkan ada dari keluarga pejabat.
Di sinilah muncul sebuah pertanyaan yang perlu dicermati.
Jika memang mereka orang mampu, mengapa sampai turun ke jalanan mencari uang
dengan jalan mengamen. Apa yang melatarbelakanginya? atau apa sesungguhnya yang
mereka cari?. Jawabannya bisa karena berbagai alasan, bisa jadi karena orang
tuanya sibuk bekerja atau salah dalam mendidik.
Inspirasi Penyelesaian Punk di daerah lain
Belajar dari Legiman Muaz (56), pria
yang pernah mendidik anak punk di kediamannya Kampung Sukarasa, Desa Arjasari
Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung, mengatakan, kebanyakan anak punk
merupakan anak yang menderita karena broken
home atau pernah dikecewakan oleh orang tuanya, sehingga mereka memilih
jalanan sebagai hidupnya.
Kebanyakan orang menjauhi mereka,
karena sudah dianggap sampah. Bahkan, orang tua atau keluarganya malah
mengusirnya. Padahal, jalanan menjadi pilihan anak punk karena tidak menemukan
kasih sayang atau bahkan kecewa dengan keluarganya sendiri, seperti
ibu-bapaknya bercerai, atau ditinggal pergi oleh salah satu dari mereka.
Karena masalah di keluarga, mereka
tidak punya tempat untuk berbagi. Di sisi lain banyak anak punk di jalanan yang
mempunyai nasib serupa, sehingga mereka lebih nyaman di jalanan walaupun hidup
terlunta-lunta. Mereka kadang menempati rumah atau lahan kosong.
Kasih sayang diberikan oleh Legiman
kepada anak-anak Punk yang pernah dibinanya. Bahkan, dia memposisikan diri
sebagai ayah dan istrinya yakni Fatimah (34) sebagai ibu. Legiman berpendapat
bahwa sampah yang tidak berharga saja ketika didaur ulang bisa menjadi barang
bernilai. Apalagi manusia yang mempunyai hati.
Pada awalnya, kata Legiman merubah
perilaku anak yang sudah terbiasa hidup di jalanan cukup sulit. Pasalnya,
mereka terbiasa hidup tanpa aturan, disisi lain, masyarakat mempunyai
norma-norma yang harus dipatuhi. Namun, untuk merubah sikap dan perilaku mereka
tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan, tapi mempunyai proses cukup
panjang.
Mengarahkan mereka ke kegiatan positif
juga harus dilakukan, supaya anak yang sudah terbiasa di jalanan bisa
melupakannya dan menggantinya dengan kegiatanyang bermanfaat. Legiman memberi kegiatan usaha
mengurus lele dan kegiatan usaha lainnya, sehingga kehidupan jalanan perlahan
terlupakan.
Dengan pola-pola seperti itu,
Legiman berhasil merubah 20 anak punk menjadi orang yang berguna. Menurutnya,
semua anak yang pernah didiknya sekarang sudah kembali diterima oleh orang
tuanya, Bekerja dan hidup menjadi orang pada umumnya. Bahkan, beberapa
diantaranya bekerja di salah satu kafe besar di Kota Bandung. Ternyata kasih sayang
menjadi kunci keberhasilannya tersebut.
Sedangkan Pemerintah
Kota Kediri memiliki cara lain untuk mengubah masa depan anak jalanan dan anak
punk. Pemerintah mendirikan Rumah Karya. Rumah Karya itu dijadikan wadah bagi
peningkatan kreativitas dan pembelajaran keterampilan anak jalan dan anak punk demi
masa depannya.
Mereka diajak belajar
bahasa Inggris, membatik dan keterampilan lainnya sesuai bakat dan minat. Di
rumah ini, para anak jalanan dan anak punk bisa mengikuti kejar paket A, B
maupun C untuk pengembangan bekal pendidikannya.
Selain itu, rumah
karya ini digagas sebagai solusi kondisi anak jalanan yang sebagian besar putus
sekolah akibat broken home dan
kenakalan remaja lainnya. Setelah mereka masuk dalam wadah Rumah Karya,
tentu tidak akan mengganggu pelajar lagi karena mereka sudah memiliki kesibukan
sendiri,
Program ini sejalan
dengan perwujudan kota ramah anak yang kini digadang-gadang Pemkot Kediri.
Sementara program ini disambut positif anak jalanan termasuk anak punk. Mereka
antusias menanti program yang siap diberikan kepadanya.
Hingga kini, 15
anak jalanan sudah tergabung di rumah karya Kota Kediri. Diharapkan ke depannya
dengan Rumah Karya, tidak akan ada lagi anak jalanan dan anak punk di Kota
Kediri.
Solusi Mengatasi Komunitas Punk yang
Meresahkan Pelajar
Melihat fenomena ini, ternyata keberadaan komunitas anak
punk dipandang sebagai masalah yang meresahkan. Oleh karena itu, perlu upaya
merazia mereka dilakukan dimana-mana dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Guru
ataupun pihak sekolah tidak akan sanggup bekerja sendiri. Perlunya kerjasama dengan
orang tua, masyarakat dan juga pemerintah. Lalu darimana memulai mengatasi
permasalahan ini?
1. Pemerintah
Satpol PP Kabupaten Wonosobo sebagai perwakilan pemerintah perlu melakukan razia secara rutin terhadap komunitas anak punk. Tetapi jangan hanya ditangkap, ditanya sana-sini, diintimidasi, dimarahi, dan kemudian disuruh pulang.
Satpol PP Kabupaten Wonosobo sebagai perwakilan pemerintah perlu melakukan razia secara rutin terhadap komunitas anak punk. Tetapi jangan hanya ditangkap, ditanya sana-sini, diintimidasi, dimarahi, dan kemudian disuruh pulang.
Atau
kadang lebih
memprihatinkan, meraka ditangkap hanya untuk dipukuli agar jera berada di
jalanan. Semua itu tak
pernah menyelesaikan masalah. Jumlah mereka bukan berkurang, tapi justru
semakin bertambah jumlahnya. Upaya
represif aparat ini malah semakin menambah kebencian dan dendam mereka. Yakinlah, masalah komunitas ini tidak
akan selesai di ujung senapan apalagi pentungan.
Oleh karena itu, perlu upaya tindak lanjut pembimbingan
setelah dilakukan pendataan tentunya. Pembimbingan yang intensif jauh lebih
berhasil. Pemerintah
perlu memberikan perhatian dan kepedulian terhadap mereka, sebelum anak-anak muda ini
kehilangan masa depannya.
Jangan
sampai disebut
”pahlawan kesiangan” karena terlambat melakukan
penanganan. Pemerintah Wonosobo haruslah menjadi tangan yang pertama menyentuh mereka,
menjadi kawan dan mendampingi mereka menuju kehidupan terbaik bagi mereka
sebagai anak-anak bangsa. Belajar dari kabupaten lain dengan
mendirikan Rumah Karya untuk memberikan wadah kreativitas bagi mereka agar
tidak hidup di jalanan. Terlebih lagu Kabupaten Wonosobo juga telah
mencanangkan sebagai Kabupaten yang Ramah Anak.
Penulis
sendiri pernah aktif di sebuah Rumah Singgah yang menangani belasan anak
jalanan. Ternyata tidak mudah melatih mereka. Ada yang tidak betah dan kembali
ke jalanan karena mereka terbiasa mendapatkan uang dengan cepat dengan cara mengamen.
Sedangkan
ketika mereka membuat karya, uang tidak bisa mereka dapatkan dengan segera
tetapi perlu proses panjang mulai dari pembuatan sampai penjualan. Ini yang
membuat mereka tidak sabar. Oleh karena itu, perlu dipilih instruktur yang
sabar dan telaten dalam membimbing mereka.
2. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat tidak boleh menjauh dari mereka. Mereka adalah kaum yang ”dimarginalkan” atau ”memarginalkan dirinya”, yang saat ini membutuhkan sentuhan tangan-tangan halus yang penuh pengertian dan kasih sayang.
Masyarakat tidak boleh menjauh dari mereka. Mereka adalah kaum yang ”dimarginalkan” atau ”memarginalkan dirinya”, yang saat ini membutuhkan sentuhan tangan-tangan halus yang penuh pengertian dan kasih sayang.
Untuk itu, keberadaan mereka perlu dipahami secara
mendalam, karena kehadiran mereka adalah perlawanan terhadap berbagai keadaan
dalam masyarakat. Mereka bukan sekedar sekelompok muda-mudi yang berpenampilan
”edan”, dan sederet stigma negatif.
Mereka
sebenarnya punya potensi. Melalui PKK biasanya penulis sampaikan tentang
fenomena anak-anak punk ini agar orang tua lebih waspada. Apabila ada anak
tetangga yang ikut komunitas tersebut tetap disapa dan jangan dikucilkan.
3. Guru
Tugas guru di sekolah adalah membina anak-anak terutama yang sudah terlibat dalam komunitas anak-anak punk agar bisa keluar dari komunitas tersebut. Berikan perhatian dan pengarahan kepada mereka, jika perlu kumpulkan anak-anak tersebut, kemudian diberikan tambahan jam pembinaan secara rutin.
Tugas guru di sekolah adalah membina anak-anak terutama yang sudah terlibat dalam komunitas anak-anak punk agar bisa keluar dari komunitas tersebut. Berikan perhatian dan pengarahan kepada mereka, jika perlu kumpulkan anak-anak tersebut, kemudian diberikan tambahan jam pembinaan secara rutin.
Bagi
anak yang kurang mampu, di sekolah kami dikumpulkan kemudian dilatih membuat
souvenir alat musik bundengan dan dijual. Keuntungannya 100% diambil oleh
mereka. Semoga dengan membekali mereka dengan pelatihan kewirausahaan, mereka
tidak ngamen di jalanan lagi.
Kemudian
bagi siswa lainnya, tetap diberi pengarahan. Pengarahan biasanya dilakukan pada
saat upacara bendera, disampaikan Guru BK di setiap kelas maupun guru mata
pelajaran sebelum mengajar. Sekolah juga sering mengundang pihak kepolisian
untuk memberikan pengarahan kepada siswa kami.
4. Orang Tua
Lalu yang terakhir adalah orang tua. Belajar dari apa yang dilakukan Legiman ternyata kunci keberhasilannya adalah kasih sayang. Apabila terjadi perceraian usahakan tetap memberikan perhatian. Orang tua mungkin memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan pasangan, tetapi jagalah jangan sampai memperlihatkan percekcokan di depan anak-anak.
Lalu yang terakhir adalah orang tua. Belajar dari apa yang dilakukan Legiman ternyata kunci keberhasilannya adalah kasih sayang. Apabila terjadi perceraian usahakan tetap memberikan perhatian. Orang tua mungkin memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan pasangan, tetapi jagalah jangan sampai memperlihatkan percekcokan di depan anak-anak.
Bagi
orang tua yang keduanya bekerja dan sangat sibuk. Tetap harus mengalokasikan
waktu untuk memperhatikan anak setiap hari. Jangan hanya waktu sisa, tetapi
waktu yang dialokasikan. Jika waktu dan jarak tidak memungkinkan, minimal
menjalin komunikasi lewat telepon untuk mengontrol aktivitas anak sehari-hari.
Sehingga ketika ada perubahan sedikit saja pada diri anak, bisa terdekteksi dan
kemudian diarahkan kembali.
Penutup
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak seluruh
kalangan untuk bersinergi, baik pemerintah, masyarakat, sekolah maupun para orang
tua untuk lebih memperhatikan dan peduli terhadap masalah komunitas anak punk
ini. Siapa lagi yang harus lebih peduli terhadap komunitas ini
selain kita, karena komunitas ini menjadi masalah sosial yang berdekatan dengan
permasalahan anak-anak kita. Jika
semua pihak bersinergi maka komunitas anak-anak punk yang meresahkan di
kalangan pelajar bisa diatasi dan bisa diarahkan potensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar