Tradisi menyambut Ramadhan di kampung
halaman saya biasanya diadakan acara Nyadran. Nyadran adalah serangkaian
upacara yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa Tengah, termasuk
kabupaten Wonosobo tempat saya tinggal.
Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari
kata sadran yang artinya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya
yang berupa pembersihan makam, tabur bunga dan puncaknya berupa kenduri
selamatan di makam. Biasanya beberapa warga diminta menyediakan konsumsi berupa
nasi megono, ingkung ayam jago dan tempe kemul serta teh manis hangat.
Saya sendiri belum pernah ikut karena
biasanya bapak-bapak yang ikut serta. Setelah acara bersih makam bapak-bapak
dipersilakan untuk makan bersama. Nasi dan lauk ditaruh di atas lembaran daun
pisang yang membentang sepanjang jalan menuju makam.
Suami saya sendiri agak hati-hati dalam
mengelola niat khawatir terjerumus dalam perilaku syirik. Jadi sejak dari rumah
diniatkan untuk membersihkan makam dalam rangka mengingat kematian. Meyakini
bahwa setiap manusia pasti akan mati sehingga perlu berbekal amal
sebanyak-banyaknya.
Akan tetapi tahun ini suami tidak bisa ikut
acara Nyadran tersebut karena harus menemani saya yang terbaring opname di
rumah sakit. Kebiasaan beliau pergi ke makam almarhumah ibu pun tidak beliau
tunaikan karena tidak tega meninggalkan saya yang sedang sakit. Saya pun tidak
bisa merayakan tradisi menyambut Ramadhan yang lazim di kampung saya.
Pagi itu benar-benar semangat saya berada
pada titik terendah yang pernah saya punya. Bahkan hampir saja melewati ambang
batas standar semangat yang saya tetapkan. Kenapa coba?
Mungkin di kehamilan keempat ini rasa
bahagia saya berlebihan. Lebay plus hiperbola banget suasana hati ini. Bagaimana
tidak?
Hamil sampai lewat hpl pun Alhamdulillah
sehat bisa wira wiri naik motor kemana-mana.
Pasca melahirkan cesar pun cepat sekali
pulih dibanding 3x persalinan normal sebelumnya. Bisa mondar mandir melayani
tamu yang datang ke rumah. Bisa gendong si kecil walau bekas jahitan belum
kering benar.
Hingga pujian tentang kesehatan datang
bergulir dari suami, orang tua, keluarga besar dan sahabat yang tahu benar
kondisi saya setiap habis melahirkan normal pada persalinan sebelumnya. Rata-rata
dari mereka mengucapkan :"Alhamdulillah persalinan cesar malah kamu lebih
sehat ya". Ternyata pujian itu justru menggelincirkan dan melenakan saya.
Euforia itu pun diperparah dengan datangnya
saya ke sebuah pelatihan di hari ke 20 pasca saya melahirkan. Kemudian beberapa
hari berikutnya datang di sebuah ifthar atau buka bersama dengan membawa adik
bayi. Lalu belanja ke pasar dan antar jemput anak ke sekolah.
Saya terkejut ketika teman saya menasehati
saya dengan serius. Ia duduk mendekati saya dan berkata "Dik kata orang
tua tidak baik lho pergi-pergi sebelum 40 hari". Tatapannya begitu tajam
dan makjleb di hati saya. Walaupun itu mitos tapi para orang tua itu punya ilmu
titen berdasarkan pengalaman hidup mereka.
Awalnya saya menganggap itu mitos. Tapi
setelah dipikir ada benarnya juga. Mungkin maksudnya ketika waktu awal-awal
persalinan badan ibu masih ringkih jadi dilarang pergi-pergi khawatir sakit.
Daya tahan tubuh juga belum prima. Orang tua melarang mungkin itu alasannya.
Saya tetap berfikiran positif. Semoga saya
sehat... saya sehat… Alhamdulillah.
Nah, ternyata terbukti. Prasangka Allah
dekat dengan prasangka hambanya ya. Dan saya dikonyo-konyo oleh teman saya itu
karena saya kemudian sakit parah.
Setelah akhirnya saya mendekam di bangsal
datanglah sahabat saya yang cantik dan sholihah.
Dan saya di "konyo-konyo" oleh
sahabat saya di rumah sakit. Di satu sisi dia marah karena saya "kewanen
dan kepedean" di sisi yang lain juga melas lihat wajah pucat pasi saya.
"Kok bisa opname lagi tho dik. Mbok
dijaga sendiri tho. Gemes aku karo dik puji ki. Sing butuh dik puji ki akeh.
Kalau sakit gini repot kabeh tho?, ini salah satu bentuk saya di konyo-konyo
oleh beliau.
"Iya mbak maaf. Sebenarnya aku kesini
cuma mau periksa aja nggak pengin opname. Kupikir maagh aja sakitnya. Terus aku
mau minta suntik anti nyeri dan minta obat maagh terus pulang. Wong mbah buyut
jogja lagi datang ke rumahku", jelas saya membela diri (wong ki ngene ki
nek ra gelem disalahke hawane arep indho...hi..hi..indonesia kali)
"Lah terus kok bisa hasil laboratoriumnya
typus dan demam berdarah?, tanya beliau memberondong.
"Aku juga kaget mbak. Mungkin
kecapekan mbak", bela saya lagi.
Dan sorenya tangan yang dipasang infus
membengkak. Padahal di IGD lama sekali mencari pembuluh venanya.
"Ibu jarang olahraga ya?", kata
perawat mengagetkan saya yang sedang menggigit bibir menahan perih dan panasnya
ulu hati. Seperti sembilu yang mengiris-iris lambung dan akhirnya muntahpun tak
terelakkan.
Ternyata ketahuan kalau saya jarang
olahraga. Dah diborong suami semua yang cinta banget sama olahraga
sampai-sampai saya nggak kebagian. He..he…padahal malas olahraga. Buktinya tiap
hari ahad mesti di ajak olahraga ke taman fatmawati tapi ya ada aja alasannya.
Ini salah satu sifat malas yang terakumulasi dan akhirnya membuat daya tahan
tubuh tidak kuat dan mudah ambruk pertahanannya.
Karena tangan kanan bengkak maka perawat
berencana memindah infus ke tangan kiri. Entah kenapa malam itu sakit perih dan
panas di ulu hati semakin menjadi.Saya sesak napas. Hingga perawat meminta saya
tarik nafas panjang tetap saja saya tidak bisa.
Semakin saya ingin menahan sakit justru
semakin sakit. Saya cemas dan keringat bercucuran. Dan akhirnya kram perut tak
terelakkan, datang lagi. Saya pegang tangan suami dengan erat untuk mencari
kekuatan sambil istighfar dalam hati.
Perawat mencoba menenangkan setelah saya
berkali-kali kram perut. Mereka berusaha memasang infus di tangan kiri saya.
Dan mengolesi trombopob di tangan kanan saya yang sudah terlanjur bengkak.
"Ibu tenang ya, jangan panik. Yuk
ambil nafas panjang saya bantu ya. Nanti pembuluh vena semakin tidak terlihat
kalau ibu cemas dan kesakitan seperti ini", kata perawat dengan lembut.
Dan 4 perawat pun gagal menginfus. Akhirnya
semalaman infus tidak terpasang dan mereka berlalu dari kamar saya dengan
menarik nafas panjang.
"Sekarang istirahat dulu. Sudah saya
suntik anti nyeri semoga besok pagi bisa dipasang infus setelah ibu
tenang", hibur perawat kepada saya.
Lalu beberapa jam kemudian tiba-tiba tubuh
saya menggigil hebat. Gigi-gigi saya mengeluarkan bunyi gemerutuk tidak bisa
dikendalikan. Panas pada typus dan DB mengalami puncaknya di angka 39,8 derajat
celcius. Perawat mengambil termometer dari ketiak saya kemudian
menggeleng-gelengkan kepala.
Malam itu juga perawat memberi paracetamol.
Lalu bagaimana kondisi paginya setelah diberi paracetamol? Alhamdulillah mulai
turun panasnya di angka 38,5 derajat celcius. Tapi nyeri di ulu hati menjalar
ke seluruh perut. Semalaman suami saya tidak tidur menjaga saya. Kasihan betul
suami saya.
Perawat pun kemudian berhasil menginfus di
pagi harinya walaupun memakan waktu hampir 1 jam. Belum pernah selama ini saya
dipasang infus. Biasanya tinggal cus jadi dech. Nih kata perawat sulit sekali
mencari pembuluh vena.
Setelah terpasang keluhan baru muncul. Efek
luka di usus sehari diare sampai 23x. Hari berikutnya 14x. Alhasil lemas lah
badan. Apakah cukup sampai sini sakitnya? Ternyata tidak. Mungkin Allah
ingin menguji saya kembali.
Maagh, Typus, Paru-paru basah dan Demam
Berdarah bersatu melawan saya. Betul-betul konspirasi yang cantik sekali. Sayang
seribu sayang pasukan antibodi saya jumlahnya disamping sedikit tidak kuat
pula. Sesak nafas tiada henti walaupun sudah dipasang oksigen menambah
kekhawatiran suami saya.
"Ibu punya jantung? Kok nafasnya nggak
normal gini nanti rekam jantung dan rontgen ya!", perintah dokter kepada
perawat saat kunjungan.
"Sebenarnya nggak punya dok, cuma
pasca melahirkan anak ketiga kemarin mengalami pembengkakan jantung. Sakitnya
dari depan nusuk sampai ke punggung", jawab saya sambil ngos-ngosan karena
nafas terasa begitu pendek.
Hasil jantung normal tapi hasil rontgen
ternyata ada bronchitis alergica yang sudah ada cairannya dalam paru-paru. Dokter
menyebutnya paru-paru basah.
"Ibu suka tidur di bawah? Nih
paru-paru basah bu makanya ibu sesak nafas seperti ini. Ada cairan di paru yang
harus dikeluarkan!", kata dokter dengan ramah
Glek..glek..pikiran saya terbang dan
teringat jaman tinggal di jogja memang sering tidur di bawah. Ketika kuliah saya
juga tidur di bawah terus karena panas. Lalu didiagnosa bronchitis, saya beli
dipan untuk tempat tidur.
Terulang lagi pasca anak pertama saya jatuh
dari tempat tidur di usia kira-kira 8 bulan. Sejak itu tidur di bawah lagi
khawatir anak jatuh kembali. Tapi kalau sampai paru-parunya basah karena ada
cairan ya baru kali ini. Jadi agak kaget. Untuk sementara diberi obat dan
cairan dibuang lewat urine.
Monggo yang masih suka tidur di bawah
segera bertobat. Cukup saya saja ya korbannya. Ketika muda memang belum terasa
efeknya. Tapi kalau udah tua seperti saya ini baru menyesal. Hiks...hiks..
Melihat saya sakit, suami berusaha
melakukan berbagai cara untuk mengurangi rasa sakit saya. Mulai dari memijit pinggang,
mengolesi minyak kayu putih di perut, mengurut punggung, mengurut dada agar
bisa bernafas panjang dan membantu saya tetap berdzikir.
Suami tak henti-hentinya menasehati saya,
“Perbanyak istighfar umi. Semoga sakit ini jadi penggugur dosa. Mungkin dosa
umi banyak dan hanya dengan sakit ini bisa terhapus”.
Dalam hati saya mengiyakan nasehat suami.
Tapi memang baru kali ini sakitnya luar biasa. Beberapa kali typus kambuh tidak
sampai kram perut. Ini setiap perut sakit dan saya berusaha melawan sakitnya
tiba-tiba kram perut lagi, ditambah diare pula.
Hari ketiga semua obat diganti dan
dinaikkan dosisnya. Inilah yang menjadi penyebab saya tidak diijinkan dokter
memberi ASI karena seluruh obat dosisnya tinggi dan membahayakan buat bayi.
Hasil pumping di kulkas rumah sakit pun
terpaksa dibuang. Sedangkan stok di rumah sudah habis. Nangis bombai
dech...terbayang adik bayi di rumah minum susu formula.
Setelah dosis dinaikkan Alhamdulillah
membaik. Nyerinya sedikit berkurang dan tidak kram perut lagi. Trombosit masih
turun tapi demam sudah berkurang. Syukur Alhamdulillah.
Di hari ke-5 muncul keluhan berikutnya.
Jahitan bekas operasi cesar muncul nanah kecil. Padahal sebelumnya sudah kering
dan bagus. Mungkin karena berkeringat terus lembab dan infeksi. Nah upaya
mengeluarkan nanah dan darah ini yang bikin saya harus pegangan ujung kasur
kiri dan kanan.
Perawat memencet-mencet hingga cairan habis
keluar. Kemudian dibersihkan dan ditaburi antibiotik. Alhamdulillah perawatnya
cantik, baik dan sabar. Jadi sedikit membuat malu kalau saya sampai mengerang
kesakitan.
Nasehat buat para perawat ya...jadilah
perawat yang baik dan ramah. Karena keramahan anda sedikit mengurangi rasa
sakit kami. Bayangkan jika perawatnya galak, ketus, tidak ramah dan selalu menyalahkan.
Sakit yang tidak seberapa bisa menjadi semakin parah.
Perawat kemudian memberi injeksi anti nyeri
3x sehari. Injeksi untuk anti nyeri memang lebih pekat sehingga efeknya agak
pegel. Tapi lumayan meredakan sakit. Jadi saya tahan sakitnya karena rindu efek
dahsyatnya. Sungguh Allah Maha Penolong.
Malamnya tangan bengkak lagi dan harus
pindah infus lg ho...ho...nikmat sekali. Perawat menawarkan infus di kaki
karena kedua tangan sudah penuh dengan bekas suntikan baik infus maupun
suntikan untuk sample darah cek
trombosit.
"Suster coba dicari lebih teliti lagi
di punggung tangan ya!, pinta saya. Nggak kebayang kalau di kaki gimana bolak
balik ke kamar mandinya. Alhamdulillah ketemu di punggung tangan. Plong...rasanya.
Saat visit dokter saya meminta ijin pulang
hari itu juga karena merasa sudah mendingan. Dokter belum mengijinkan dan harus
opname 1 hari lagi.
"Paket antibiotiknya masih 1 hari lagi
ibu, terus ibu sambil latihan lepas oksigen ya masih sesak nafas tidak?, saran
dokter pada saya.
Alhamdulillah hari ke-6 pun tiba. Tangan
infus membengkak lagi. Saya minta perawat untuk melepas saja karena optimis
sorenya diperbolehkan pulang. Thypus akut memang agak lama penyembuhannya. Dulu
sampai 2 bulan recovery.Yang penting sudah tidak mimpi Rian Thamrin lagi.
Dokter yang meninggal akibat sakit typhus. He..he..
Alhamdulillah sore harinya sudah boleh
pulang dari rumah sakit tinggal penyembuhan di rumah. Dokter memberi obat dengan
dosis lebih rendah agar aman untuk ibu menyusui.
Nah ternyata terbiasa disuntik anti nyeri dosis
tinggi kemudian tidak sungguh berbeda rasanya, Perut masih terasa sakit ketika
kambuh walaupun sudah diberi obat anti nyeri.
Efek obat diare juga membuat sembelit
beberapa hari. Dan tahu sendiri kalau sembelit muncul penyakit baru yang
membuat saya menangis ketika keluar kamar mandi.
“Ya Allah ujian apalagi ini”, gumam saya
dalam hati.
Perut saya kembung. Setiap mau buang gas,
BAK, BAB, sendawa dan menguap sakitnya luar biasa. Hanya bisa istighfar
dech.Ternyata muntah dan diare berlanjut di rumah dengan tingkat sakit yang
melebihi ketika di rumah sakit. Setiap minum dan makan langsung muntah lagi.
Belum lagi yang momong sakit dan tidak bisa
menginap. Malamnya saya harus begadang dengan menahan sakit yang luar biasa
demi merawat adik bayi. Suami alhamdulillah siaga kecuali jam dini hari. Tidak
kuat menahan kantuk.
Paginya bisa ditebak muntah dan diare
semakin parah. Sampai adik bayi nangis saya biarkan karena bener-bener tidak
kuat bangun. Saya hanya nungging menahan sakit.
Dari kondisi inilah saya benar-benar telah
kehilangan semangat saya. Saya merasa hampir saja putus asa. Saya kemudian
minta maaf satu per satu kepada keluarga. Pertama, saya panggil syahida, anak
tertua saya ke kamar
"Mbak Sya, Umi minta maaf ya banyak salah sama mb sya, sering marah-marah, sering nggak ngertiin mbak sya, sering nggak nemenin mb sya. Mb sya mau maafin umi?", kata saya lirih
"Iya mi. Mb sya maafin. Aku juga minta
maaf sering nggak nurut sama umi, umi jangan bilang gitu mi. Umi harus kuat.
Aku masih butuh umi", teriak mb sya disusul pecahnya tangis.
"Mb sya anak pertama jaga adik-adik ya.
Jangan bertengkar, main yang rukun jangan berebut. Jangan saling ejek ntar
menimbulkan kebencian", kata saya sambil memejamkan mata menahan sakit di
perut yang melilit.
"Umi..aku janji nanti kalau umi sehat
aku nurut sama umi. Nggak marah-marah lagi wis. Tapi umi harus semangat sehat
mi. Umi nggak boleh ngomong gitu!, tangisnya pun semakin keras.
"Umi yang sakit sebelah mana sekarang,
aku olesi minyak ya?, tawarnya dengan sesekali menyeka air mata
Saya yang ditanya cuma menunjuk ke arah
perut. Diam tanpa suara. Gigi bawah menggigit bibir atas sebagai tanda menahan
sakit. Entah kenapa pijitan dari tangan kecilnya begitu enak dan pas sekali.
Mengalahkan pijitan suami dan budhe.
Dia selalu bereksperimen dengan pijitannya.
Kadang dari atas ke bawah. Saya merasa nyaman. Kadang dari samping kanan kiri
menuju pusar. Sangat mengurangi rasa sakit. Padahal cuma di elus-elus.
"Panggilin fachri mbak!", pinta
saya padanya.
Anak ketiga saya ini periang. Dia sedang bermain
bersama teman-temannya. Bersenda gurau di depan rumah. Lalu datang ke kamar
memanggil saya.
"Kenapa umi?", teriaknya. Mungkin
belum begitu paham kalau uminya sakit.
"Mas fachri umi minta maaf ya sering
marah-marah sama mas fachri. Mas fachri janji jadi anak yang sholih ya. Jangan
tinggalkan sholat ya!", pesan saya padanya.
Paham atau tidak dia mengangguk lalu
seolah-olah menahan air mata untuk keluar. Kemudian mendongak ke atas untuk
memasukkan air matanya lagi. Bibirnya berubah melengkung pertanda menahan
tangis.
"Nih mas Fachri dah sholat dhuhur
belum?, tanya saya lirih mendekat ke telinganya
Dia yang sedari tadi memijit-mijit tangan
saya lalu berlari untuk sholat. Saya lihat dia lupa wudhu dan langsung sholat.
Tapi biarlah saya lagi berhemat suara untuk tidak berteriak menegurnya.
Dari balik pintu yang terbuka sedikit, saya
lihat dia komat kamit baca doa. Kamar tempat dia sholat berhadapan dengan kamar
tempat saya berbaring. Saya berharap dia mendoakan saya.
Setelah itu, tiba-tiba perut ini perih.
Cenuuuuuutttttttt. Kalau saya sudah istighfar berkali-kali mb sya hafal berarti
sakitnya umi lagi datang. Segera ia ambil minyak lalu dibukanya baju saya dan
langsung dioles-oleskan ke perut saya.
Setelah sedikit reda saya tanya, "Mbak
Sya capek mijitin umi?, tanya saya setelah kira-kira 15 menit memijit.
"Enggak mi. Aku semangat. Aku nggak
capek. Aku cuma pengin umi sembuh. Umi melek ya mi jangan ngomong sambil merem.
Aku takut", katanya dengan cemas
"Umi juga pengin melek mbak. Tapi mata
umi pedes banget buat melek mbak. Mata umi dah mirip kayak panda dan berkantung
ya mbak?, tanya saya. Tapi tak memperoleh jawaban dari yang saya tanya.
"Umi aku dah sholat, aku boleh main?",
tanya mas fachri tiba-tiba.
"Fachri, umi kan lagi sakit. Mbok
bantu mbak mijitin", suruh mb sya pada adiknya
"Nggak apa-apa mbak. Dia belum paham.
Tahunya baru main. Tapi dah lumayan tadi disuruh sholat langsung sholat.
Biasanya jawabnya nanti atau bentar lagi mi.", jelas saya
"Daffa mana mbak? Umi juga mau minta
maaf sama daffa", tanya saya yang secara tersirat adalah menyuruhnya pergi
untuk mencari.
Anak no 2 ini memang spesial. Suka sekali
berpetualang dan melakukan hal-hal yang terlalu berani dilakukan anak
seusianya. Pantas saja saya memiliki kekhawatiran tingkat tinggi kalau
memikirkannya. Seringnya menambah produksi asam lambung meninggi pula.
"Sabar umi, dia nanti akan jadi
pemimpin yang pemberani. Biarkan dia berpetualang dulu. Sabar..sabar dan sabar
kuncinya", itu nasehat suami setiap kali saya laporan tentang
"keanehan" yang dia lakukan. Bahkan pernah saya ingin membawanya ke
psikolog. Tapi suami melarang dan menyarankan agar saya saja yang terapi ke
psikolog. Diikuti tawanya yang renyah. Mengejek.
Benar pula dugaan saya, dia pulang dengan
baju kotor, keringat bercucuran dan sedikit bau. Kakinya basah bercampur
lumpur.
"Masuk kamar mandi lalu mandi",
kata saya lirih dan pendek. Saya tidak ingin memperpanjang nasehat apalagi jika
nasehat itu semakin panjang biasanya membuka ruang bagi dia untuk mencari
alasan.
Biasanya saya mengawasinya mandi untuk
memastikan bahwa dia mandi dengan bersih. Tapi sekarang tidak bisa. Semoga saja
arahan dan petunjuk mandi sebelumnya dia ingat. Sehingga bisa mandi dengan
bersih.
Alhamdulillah beberapa sakit sudah berlalu
pergi. Tinggal thypus dan infeksi di jahitan cesar ini yang membuat badan
terasa tidak nyaman. Rasa nyaman ini juga karena badan terasa lemah, nyeri
otot, letih, lesu dan tidak punya gairah serta semangat.
Saya merasa sangat mudah lelah padahal saya
tidak melakukan aktifitas apa-apa. Hanya baring di tempat tidur ternyata capek
sekali. Setiap minum dan makan kemudian disusul muntah membuat saya enggan
minum dan makan. Bahkan melihatnya pun sudah membuat saya mual.
Kepala pun semakin pusing dan berat karena
perut kosong. Kadang pusing ini muncul tapi setelah minum obat hilang rasa
nyeri di kepala. Kemudian mendadak datang lagi. Yang membuat saya memilih untuk
memejamkan mata dan istighfar. Lalu tertidur.
Dahulu setiap kali thypus kambuh sakitnya
ada di perut sebelah kiri. Tapi entah kenapa sakit perut yang datang ini hampir
menjalar dari sisi perut sebelah kiri, tengah dan kanan. Sakit perut seperti
ditusuk-tusuk.
Peradangan pada usus halus oleh bakteri
salmonella typhi ini sangat mengganggu kinerja usus dalam mencerna makanan.
Sehingga muncul respon tubuh berupa diare atau sembelit.
Dua hari setelah pulang dari rumah sakit
saya sembelit. Tapi setelah itu diare lagi. Yang bisa saya lakukan hanya minum
oralit yang dibuat budhe sebanyak-banyaknya untuk mencegah dehidrasi. Walaupun
beberapa menit kemudian saya akan meminta plastik. Huek...huek...
Penderita thypus seperti saya ini jika
sudah akut pasti akan mengalami penurunan nafsu makan. Ini karena yang diserang
adalah organ pencernaan. Mulut terasa pahit. Lidah putih dan menebal. Ditambah
mual pula. Semakin menambah hilangnya nafsu makan.
Tetapi saya tetap makan bubur sumsum walau
hanya beberapa sendok teh. Budhe membuatkan bubur sumsum setiap hari dipadu
dengan gula aren yang dicairkan. Sayur dan laukpun di blender. Makanan harus
bertekstur lembut. Itupun sakit ketika melewati usus. Tapi saya menahannya.
Tetap makan saja.
Memaksa makan dalam keadaan tidak bernafsu
itu tidak mudah. Tapi tetap saja harus makan walau setiap satu sendok berhenti.
Kemudian butuh waktu lagi untuk memulai mengayunkan sendok dari piring ke
mulut. Demi ASI.
Pernah ada sedikit wortel yang belum lembut
diblender dan saya memakannya membuat perut bertambah perih. Ini karena saya
telah memperberat usus yang telah radang. Sehingga wortel yang besarnya seujung
kuku saja bisa berasa menusuk perut.
Pernah juga tahu yang diblender diberi
bumbu tumbar wah pedasnya terasa sekali di tenggorokan dan cenuuut di perut
muncul kembali. Sakit seperti ini sangat sensitif terhadap rasa pedas sedikit
apapun.
Oleh karena itu, penderita typus memang
sebaiknya menghindari makanan yang pedas dan asam karena akan menyebabkan
infeksi bertambah parah. Infeksi bakteri ini bersifat toksit sekaligus
mempengaruhi kinerja jantung saya dimana denyutnya menjadi lebih lambat.
Ini pula yang membuat kondisi tubuh saya
mudah lelah karena pasokan nutrisi ke seluruh jaringan menjadi berkurang. Oleh
sebab itu ketika di rumah sakit perawat selalu memantau denyut nadi dan tekanan
darah saya.
Perawat tampak khawatir ketika tensi darah
saya 70/30. Saya kurang tahu denyut nadi berapa karena mata saya kabur melihat
angka yang tertera di alat yang dijepit di jempol saya itu.
Kata perawat mereka memang harus sebentar-sebentar
mengecek denyut nadi dan tekanan darah saya. Mereka mengeceknya agar saya
jangan sampai ngedrop karena bisa berpotensi menimbulkan syok.
Setiap melihat cermin di kamar saya
menjulurkan lidah. Saya mengecek apakah masih putih tebal ataukah sudah
berkurang. Memang, proses terjadinya inflamasi pada penyakit thypus menimbulkan
ciri yang khas yaitu lidah yang kotor atau berwarna putih. Sangat mencolok
perbedaannya dengan lidah orang sehat. Bagian pinggir lidah masih berwarna
merah. Tapi bagian tengah lidah berwarna pucat atau putih. Bagian tengah lidah
juga terasa tebal. Kadang saya garuk pakai sikat gigi
Budhe tiba-tiba berlari setelah mendengar
teriakan takbir saya. Pertanda sakit itu kembali datang menyerang. Tanpa
disuruh, ia langsung memencet pinggang saya untuk mengurangi rasa sakit.
Saya sudah pernah mengatakan padanya bagian
pinggang yang harus ditekan pelan pelan untuk mengurangi rasa sakit. Jadi ia
paham betul.
"Budhe, saya minta maaf ya kalau
selama ini banyak salah sama budhe. Mungkin pernah menyinggung budhe atau
berkata-kata kasar.", pinta saya padanya
"Ampun sanjang kados niki tah mbak
mboten ilok (Jangan bilang begitu mbak nggak baik), jawabnya disertai air mata
yang berlinang. Namun, ia buru-buru menyekanya.
"Budhe mau maafin saya kan?",
tanya saya kembali untuk meyakinkan
"Inggih mbak", tangisnya semakin
menjadi.
Disitu saya merasa ringan sudah minta maaf
sama anak-anak dan budhe. Seperti leganya seseorang setelah melunasi hutangnya.
Merekalah yang paling sering berinteraksi dengan saya setiap hari lebih banyak
daripada orang lain. Tentu kesalahan saya paling banyak kepada mereka.
Kami memanggilnya budhe. Orang yang sangat
berjasa membantu saya sehari-hari. Ia bekerja di rumah saya sejak 2012 sewaktu
anak ketiga kami lahir. Jadi hampir 6 tahun ia bekerja pada kami.
Saya memanggilnya budhe karena usianya
setara dengan usia ibu saya. Juga membiasakan kepada anak-anak bahwa budhe
adalah keluarga kami.
"Budhe yang sabar ya sama anak-anak.
Anak-anak saya memang makan dan mandi agak susah. Budhe yang sabar ya!, kata
saya terbata-bata sambil sesekali teriak takbir tanda perut sakit.
"Sampun tah mbak mangkih tambah sakit
nek mikire macem-macem. Pun damel sare mawon (Sudah lah mbak nanti tambah sakit
kalau berfikir macam-macam. Sudah buat tidur saja)", nasehatnya begitu
lembut di telinga. Sesekali isak tangisnya terdengar di telinga saya walaupun
saya terpejam.
Dua hari ini kondisi terparah dari sakit
yang saya alami. Sehingga muncul perasaan cemas yang berlebihan yang justru
meningkatkan asam lambung. Saya kemudian menyuruh mbak sya memanggil abinya.
"Minta tolong panggilkan abi mbak. Umi
mau minta maaf juga sama abi. Mana tahu bisa mengurangi rasa sakit umi",
pinta saya pada si sulung yang sabar merawat saya.
Suami datang dan masuk ke kamar tepat
ketika saya mengerang kesakitan dan beristighfar pelan.
"Umi minta maaf ya bi selama ini
banyak sekali salah umi sama abi. Terima kasih selama ini sudah merawat umi
dengan sabar.", pinta saya sambil menggigit bibir menahan sakit.
Beliau mengiyakan kemudian mengelus-elus
perut saya yang sakit. Kemudian ke dada saya yang nafasnya tersengal-sengal.
"Umi benar-benar kehilangan semangat.
Rasanya tidak bisa menggerakkan badan, lemah sekali. Umi merasa menjadi orang
yang tidak berguna. Melihat anak-anak kesulitan membuat topi untuk tarhib
ramadhan cukup membuat umi sedih. Biasanya umi membantu browsing gambar lalu
membantu membuatkan untuk mereka. Mereka sudah membuat daftar benda yang mau
dibeli. Tapi umi tidak bisa mengantarkan mereka. Rumah seperti neraka. Mbak sya
teriak-teriak menegur adiknya yang berisik. Padahal umi paling tidak suka ada
anggota keluarga kita teriak-teriak. Terus Daffa dan fachri bertengkar umi
tidak bisa melerai dan berujung salah satu nangis karena kesakitan akibat
berkelahi. Umi dah teriak tapi seolah-olah mereka nggak mendengar teriakan umi.
Mainan, buku dan tas begitu berantakan di lantai. Handuk dan baju kotor nyantel
di kursi-kursi. Pengin membersihkan tapi nggak kuat.Budhe sampai sakit karena
selama umi tinggal dirumah sakit dede' bayi nangis terus, sampai budhe nggak
bisa tidur. Akhirnya kecapekan tiap malam begadang. Umi hampir 3 minggu
terbaring di atas kasur. Kadang mendengar tangis Nafisa pun tidak bisa
menggantikan popoknya. Nunggu budhe datang kalau ia dengar. Di rumah kok
rasanya penyakit umi semakin parah dibanding di rumah sakit. Lalu pagi ini
dengan durasi muntah tanpa jeda membuat umi hilang semangat. Beri umi nasehat
bi biar umi semangat lagi melawan sakit ini!", kata saya sambil menangis
Tangannya yang sedang mengelus-elus dada
saya untuk membantu pernapasan saya tiba-tiba berhenti tepat di dada.
"Umi yang namanya penyakit itu
sembuhnya bukan dari obat. Tapi dari keyakinan pada Allah. Sakit itu datangnya
kadang begitu cepat dan kadang bersamaan dengan penyakit lain. Akan tetapi, ada
beberapa penyakit yang sembuhnya agak lama. Umi kan tahu penyakit umi itu cuma
satu dari dulu yaitu typhus. Umi pernah melaluinya kan. Umi pernah berhasil
mengalahkan penyakit ini paling cepat 1 minggu dan paling lambat 3 bulan. Jadi
sebenarnya umi sendiri tahu cara mengatasinya. Yang dibutuhkan hanya semangat
yang tinggi untuk melawannya. Jangan bergantung pada orang lain. Abi sifatnya
hanya membantu umi itu motivasi eksternal. Nah yang paling dominan mempengaruhi
kesembuhan itu motivasi dari internal umi sendiri. Sudah berhari-hari pekerjaan
abi menumpuk terbengkalai. Seminggu persis abi di rumah sakit menemani umi.
Lalu sudah seminggu lebih abi menemani umi juga di rumah. Kalau umi sakit terus
seperti ini abi nggak bisa kerja-kerja. Dalam pikiran abi kalau abi berangkat
ntar siapa yang bantu angkat umi ke kamar mandi, siapa yang bantu mengelus-elus
perut umi ketika kambuh, siapa yang membantu umi beli obat ini beli obat itu. Sekarang
umi harus semangat kayak biasanya itu. Kasihan anak-anak terutama nafisa dia
butuh banget umi. Kalau umi sehat umi harus janji untuk rajin olahraga dan
menghindari makanan-makanan yang dilarang sedikit apapun. Itu saja kelemahan
umi. Ayo umi harus semangat!", begitu katanya sambil mengangkat kedua tangannya
yang mengepal. Giginya yang putih dan rapi serta senyumnya yang lebar tak kuasa
menahan saya untuk tersenyum pula.
"Nah gitu dong senyum. Dua minggu
lebih abi tidak melihat umi tersenyum. Gimana lebih enakan sekarang?, tanyanya
sambil mencubit pipi saya yang mulai tidak chubby lagi
Nasehat suami begitu cess terdengar di
telinga. Saya sering heran sama satu orang ini. Stok semangatnya begitu besar.
Jarang terdengar keluhan padahal begitu banyak amanah yang ia emban.
Dia paling sering mengajak saya olahraga
tiap hari Ahad. Tapi saya selalu punya banyak alasan yang capek lah, mumpung
libur lah, bentar lagi ada acara butuh persiapan lah atau mending milih nyiapin
sarapan.
Kadang anak-anak mau diajak kadang juga
tidak mau. Dia pun berangkat olahraga sendirian. Makan kadang cuma 2x sehari
tapi kok nggak kena maagh kayak saya ya. Saya terlambat 1 jam saja dah melilit.
Makanan apa saja bisa ia makan sedangkan saya begitu banyak makanan yang harus
saya pantang. Mulai dari ketan, santan, pedas, asam, sayuran bergas seperti
kobis, sawi, kol. Sampai lupa karena saking banyaknya.
Dia begitu heran melihat obat-obatan yang
saya konsumsi. Mulai dari obat dokter yang segepok, obat herbal, obat cacing,
pati erut, kunyit madu.
Pernah ia sakit lalu periksa ke dokter kemudian
dia taruh aja obat tersebut di dapur. Kolesterolnya cukup tinggi. Waktu saya
tanya kok obatnya nggak diminum. Dia jawab besok dia akan lari minimal 10
putaran mengelilingi taman fatmawati InsyaAllah kolesterol turun. Dan saya
menghitungnya 11 putaran.
Kemudian dia kurangi makanan bersantan dan
berlemak. Maklum tiap hari di traktir klien jadi kadang lupa diri makan yang
enak-enak. Padahal di rumah ya telur campur tomat dah poll senenge. Dan cek
lagi kolesterol dah turun. MasyaAllah.
Memang saya ingat kadang semangat saya itu
tinggi jika saya bisa bermanfaat untuk orang lain. Baik untuk keluarga ataupun
sahabat. Jadi ketika saya sakit dan merepotkan banyak orang saya menjadi tidak
berharga. Semangat kendor.
Sejak nasehat itu dilontarkan kepada saya.
Tiba-tiba semangat saya bangkit lagi. Seperti hp yang habis di charge 100 %
full. Saya yakin bahwa kesembuhan itu datangnya dari Allah kita harus
senantiasa memohon kepadaNya dan kita harus semangat untuk berikhtiar
semaksimal mungkin semampu kita.
Setelah saya mengangguk-angguk sendiri
pertanda memantapkan hati untuk semangat sembuh. Tiba-tiba rasa sakit itu
datang menusuk.
"Abi keluar kamar ya, umi ingin
melawannya sendiri tanpa pijitan dan minyak", pinta saya sambil meringis
Suami saya kelihatan tidak tega tapi ia
tetap keluar dan menutup pintu. Saya kemudian meletakkan tangan kanan saya di
atas perut. Kemudian mulut terus berdzikir dan menatap jam di dinding yang
berdetak begitu kencang.
Ternyata kurang dari 1 menit lalu sakit itu
hilang. Saya tarik nafas panjang lewat hidung lalu saya tahan sebentar dan saya
keluarkan lewat mulut dengan mengeluarkan suara desis. Teknik ini saya dapat di
kelas senam hamil. Alhamdulillah berhasil. Ok, saya menemukan satu cara melawan
rasa sakit itu. Yess! Alhamdulillah Ya Rabb.
Hari itu saya benar-benar seperti orang
sehat. Saya meminta budhe membawakan sepiring bubur sumsum. Saya makan begitu
lahapnya dan nafsu makan saya bertambah.
"Abi lapor sepiring bubur sumsum
habis!, lapor saya pada suami
"Bagus! Nah gitu harusnya. Makan dikit
muntah...makan banyak juga muntah. Ya mending makan banyak tho?", candanya
yang selalu bisa membuat saya tersenyum walau senyum kecut.
Setelah minum lumayan banyak tiba-tiba
suara tangis nafisa terdengar. Dia kelihatan haus sekali. Dan saya mulai
menyusuinya walau dengan posisi badan tidur. Saya bisa ke kamar mandi sendiri
dengan pegangan tembok. Sakitnya masih sih cuma saya sedikit mampu menahannya.
Kemudian saya duduk di kursi dengan meminta
bantal sebagai alas agar tidak sakit. Tahu kan kenapa?
Saya menghabiskan semangkuk jus tahu
dicampur sayuran. Rasanya sedikit asin sehingga budhe menambahkan bubur sumsum
dan gula sedikit. Penderita typhus sangat peka terhadap rasa. Rasa asin
sedikit, pedasnya tumbar dan asamnya pisang begitu tajam di lidah. Dan
Alhamdulillah lagi-lagi saya menghabiskannya. Saya memanggil tukang pijit ke
rumah. Diurutnya kaki tangan dan punggung yang pegal-pegal ini.
Setelah dipijit dan diurut menggunakan
parem badan menjadi hangat dan lebih ringan. Tak terasa 1,5 jam saya tertidur
pasca dipijit. Benar-benar nyenyak sekali. Baru kali ini bisa tidur senyenyak
ini setelah pulang dari rumah sakit. Mungkin inilah yang dinamakan tidur
berkualitas. Bangun dari tidur badan terasa segar. Saya merasa lebih rileks.
Sejak acara muntah-muntah pagi itu lalu
diberi nasehat abi. Dan akhirnya kembali semangat saya tidak mengalami muntah
lagi. Malamnya pun bisa ngeloni 2 pangeran kecilku yang hampir 3 minggu
terabaikan. Fachri memegang tangan saya kemudian minta dipeluk. Mudah sekali
tertidur anak ini sebenarnya.
Perut saya tiba-tiba bunyi keroncongan.
Suami yang sedang asyik nonton bola saya panggil . Saya minta dibuatkan jenang
pati erut campur gula aren.
"Wah malah gagal mi. Kok jadi kental
seperti ini ya!, katanya heran
"Justru yang seperti ini yang benar.
Kemarin-kemarin yang abi buat itu terlalu encer. Tapi umi minum aja wong abi
dah capek-capek buatin", kata saya sambil makan sesendok demi sesendok
"Ealah ternyata produk gagal itu malah
yang betul ya?", tanya nya garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal
Kadang kita sering terlena dengan sesuatu
yang nampak dari luar. Sepertinya tampak bagus padahal ternyata tidak baik.
Sebaliknya sesuatu yang tampak tidak baik justru itu yang benar dan baik buat
kita. Semoga kita senantiasa diberi petunjuk oleh Allah agar tetap berada pada
jalan yang lurus
Positive thinking bahwa kita mampu, kita
bisa, kita kuat menghadapi situasi dan kondisi sulit membuat saya bisa melewati
hari itu dengan baik. Walau muntah sudah tidak muncul lagi tapi sakit di perut
dan diare masih. Kuncinya kata suami sebut Asma Allah sebisanya. Perbanyak
istighfar, manatahu ada dosa-dosa umi yang pernah umi lakukan dan hanya
terhapus oleh ridhanya umi terhadap rasa sakit yang umi derita ini.
Lalu saya tambah dzikir saya tiap kali
sakit itu datang: Astaghfirullah Ampuni aku ya Allah. Saya ridha saya ikhlas
dengan sakit ini. Laa haula walaa quwwata illa billah", lalu lari ke kamar
mandi untuk apa tahu kan?
Tak apalah masih ada minuman oralit ala
budhe yang rasa dan panasnya pas. Segelas langsung habis. Lalu saya bilang sama
diri saya sendiri,
"Hayuk mau pakai cara apa aja pokoknya
akan saya lawan. Kamu keluar aku isi lagi...kamu keluar aku isi lagi",
gumam saya disusul jari jempol suami yang ditujukan ke arah saya tanda setuju.
Malam itu saya positive thingking:"
Harus kuat untuk begadang lagi menyiapkan tenaga lagi demi Nafisa". Dini
hari sakit kambuh lagi tapi saya mencoba melawannya. Ditambah tangisan dede'
yang keras sekali karena mengompol dan haus membuat semakin panik.
Popok yang disediakan suami di dekat saya
pun habis. Saya panggil-panggil suami yang sudah tertidur pulas tapi tidak
mendengar. Pantas saja ia begitu lelah. Jogja-wonosobo bukanlah perjalanan yang
singkat. Apalagi perjalanan malam. Jadi wajar kalau ia lelah dan lelap sekali
tidurnya.
Saya akhirnya merangkak menuju box bayi
untuk mengambil popok dan kembali ke kamar. Infeksi jahitan yang dibersihkan
suami sebelum ia pergi tidur ternyata menambah cenut-cenut di perut.
Pagi hari setelah peristiwa malam itu saya
memilih tidak terlalu banyak bergerak. Benar-benar di atas tempat tidur. Dan
sampai sore ini Alhamdulillah cenut-cenut perih tidak lagi terasa. Tinggal
cenut-cenut di jahitan yang infeksi.
Kata ibu saya dulu kalau typhus jangan
banyak bergerak ntar bakterinya marah lalu nyerang. Ternyata ada benarnya juga.
Kenapa tidak boleh banyak bergerak? Karena jika terlalu banyak bergerak akan
membuat suhu badan naik dan kuman akan terus berkembang biak masuk ke dalam
darah.
Banyak bergerak juga tidak baik bagi
penderita thypus karena sedang mengalami masalah pada ususnya yang sedang
ringkih yang membuat makin sakit jika banyak bergerak.
Alhamdulillah yang penting semangat saya
sudah pulih kembali menjemput siang yang entah kapan.
Bukan pada sembuh atau tidaknya akan sakit
ini. Tapi pada bagaimana kita mengubah mindset kita dalam memandang sakit itu
sendiri dari sudut pandang yang positif.
Selalu akan ada hikmah di balik sesuatu
bahkan sakitpun ternyata baik bagi kita. Sakit merupakan ujian dari Allah yang
diberikanNya semata-mata agar hambanya menjadi lebih baik di hadapanNya.Semoga
Allah mengampuni dosa-dosa saya lewat sakit ini.
"Sesungguhnya pahala yang besar
didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Kalau Allah mencintai seseorang ,
pasti Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang ridha menerima
cobaanNya, maka ia akan menerima keridhaan Allah. Dan barangsiapa yang kecewa
menerimanya, niscaya ia akan menerima kemurkaan Allah (HR Tirmidzi).
Jadi yang penting adalah pada keridhaan
kita menerima cobaan yang Allah beri. Ya Rabb masukkanlah aku ke dalam golongan
orang-orang yang menerima ujianmu.
Hari berikutnya kami berangkat control ke
rumah sakit.
"Turun berapa kilo bu?", tanya
perawat kepada saya sambil senyum.
Kami begitu dekat sehingga pertanyaan itu
muncul tanpa ada "rikuh makewuh". Kedekatan kami tumbuh karena
seringnya saya periksa di poli kandungan ini.
Informasi tentang jam kedatangan dokter
selalu diberikan pada saya sehingga saya tidak menunggu lama datangnya dokter
yang mau memeriksa pasien.
Juga katanya saya mirip dengan kakak
sepupunya yang pernah ia perlihatkan photonya tempo hari. Bahkan kami berlanjut
hubungan jual beli online.
"Turun 5 kg mbak. Kok drastis banget
ya mbak kalau sakit thypus!", jawab saya agak kaget. Mak-mak yang lagi
diet jangan baper ya. Dan tidak usah mencari tahu tips diet ala saya.
Menyakitkan mak. He..he..
Setelah infeksi jahitan dibersihkan dan
dipencet-pencet, ditensi dan dicek suhunya, saya kembali duduk di kursi roda.
"Gimana mbak lukanya?", tanya
dokter kepada perawat.
"Masih ada dua lubang kecil
dok!", jawab perawat
"Ibu... bapak jika dalam seminggu ini
luka ibu belum sembuh saya akan mengambil tindakan. Kemungkinan ibu alergi
dengan benang jahit yang ada di dalam. Karena luka luar sudah bagus. Saya akan
membuang kulit luarnya lalu akan menjahitnya kembali dengan benang sutra yang
biasanya tidak membuat alergi.", jelas dokter dengan tatapan serius.
Saya dan suami saling bertatapan lalu
sama-sama mengangkat alis kemudian meringis. Saya memijit kepala yang
sebenarnya tidak pusing untuk mengurangi kecemasan.
"Kuncinya tenang mi.
Tenang...tenang...dan tenang. Anggap aja lukanya itu seperti luka koreng waktu
kita kecil..ya!", hibur suami sepanjang perjalanan pulang
"Ingat pesan dokter umi harus semangat
makan kalau cuma makan bubur sumsum dan jenang pati ya nggak sembuh-sembuh
harus berani makan nasi lembek, sayur dan lauk. Itu akan membantu jaringan
kulit cepat sembuh", begitu imbuhnya
"Ya udah sekarang jangan langsung
pulang kita mampir warung beli lauk", semangat saya pulih rasanya hilang
rasa sakit seketika itu.
Alhamdulillah nikmat sekali makan sore itu.
Adem. Walaupun belum bisa ikut shalat tarawih di masjid, saya bersyukur malam
menjelang 1 Ramadhan saya sudah mulai membaik kondisinya. Marhaban Yaa
Ramadhan.
Alhamdulillah bisa menyiapkan hidangan sahur buat
keluarga walaupun tidak selengkap menu tahun kemarin.
"Umi tadi malem tuh tarawih rata-rata
satu keluarga berangkat semua. Hana ada bundanya. Wina ada ibunya. Nada juga
sama ibunya. Cuma aku yang enggak", keluh si sulung sambil mengaduk-aduk
nasi di piringnya sebagai ungkapan kecewa.
Dia tahu uminya sakit tapi juga iri melihat
teman yang lain. Jadi waktu sahur dia manfaatkan untuk curhat sama uminya.
Alhamdulillah semakin banyak nutrisi yang
masuk, pelan-pelan saya mulai beraktivitas seperti semula. Menyiapkan sahur
bagi keluarga semampunya dengan menu ala kadarnya sudah membuat saya bahagia.
Semoga berkah Ramadhan kali ini bisa kami raih.
Membangunkan anak sahur tentu tidak mudah.
Bujuk rayu agar mereka bangun bisa jadi kita lontarkan. Bersyukur bagi orang
tua yang anak-anaknya sudah mandiri dengan bangun sendiri ketika sahur. Saya
masih di posisi berjuang mak. Perlu banyak strategi.
Mungkin karena sahur pertama jadi tidak
begitu banyak alasan. Walaupun demikian saya hanya berhasil mengajak sahur anak
no1 dan no 3. No 4 ikut bangun dan sahur asi. Khusus anak no 2 ini memang
spesial. Sudah berbagai janji hadiah saya tawarkan tetap saja tidur. Ya sudah
saya menyerah.
Sahur memang tidak wajib tapi disunnahkan
oleh Rasulullah saw bagi orang yang berpuasa. Seperti sabda nabi saw:
"Bersahurlah kalian karena dalam
bersahur tersebut terdapat keberkahan".
Oleh sebab itu mak, yuk berusaha keras kita
bangunkan anak kita. Makan sahur adalah keberkahan, maka janganlah kita meninggalkannya.
Walaupun hanya berupa seteguk air. Karena Allah swt dan malaikatNya bershalawat
bagi orang-orang yang bersahur.
"Ya umi kan masih sakit mbak.
InsyaAllah umi berangkat kalau udah sehat. Tapi kasihan juga tho kalau dik
nafisa ditinggal. Jadi mbak bersabar dulu ya untuk bulan ini shalat tarawih
tanpa umi", bujuk saya menenangkan hatinya yang sedang galau.
"Mbak sya beruntung pulang tarawih
masih bisa ketemu umi. Bayangkan kecilnya abi mbak. Sejak kelas 2 SD ibunya
meninggal, kata saya tiba-tiba berhenti kemudian melanjutkan kalimat lagi
"Sejak kelas 2 SD kira-kira se Daffa
ibunya abi dah meninggal. Pulang tarawih tidak ada yang bisa dicium pipinya
seperti mb sya nyium umi. Pasti sedih banget kan abi. Jadi walau umi sakit gini
mbak sya harus tetep bersyukur ya karena masih bisa ketemu umi", jelas
saya berusaha menguatkan hatinya.
"Iya ya mi. Alhamdulillah umi dah
mulai sehat ya mi sekarang., katanya
"Alhamdulillah ibarat waktu nih dah
habis subuh dan matahari dah terbit di ufuk timur. InsyaAllah sebentar lagi
siang terang menderang. Itu artinya umi hampir sembuh dan kita bisa jalan-jalan
lagi. Sungguh Allah Maha Penolong. Maha Pengasih dan Maha Penyayang", kata
saya dengan mata berbinar terharu bisa melewat masa-masa sulit ini akhirnya.
"Hore jalan-jalan", kata fachri
yang sudah menyelesaikan makan sahurnya. Sepertinya ia kangen sudah 1 bulan
tidak dibonceng uminya.
Sakit itu ternyata memberikan banyak
kebaikan dan hikmah bagi kami semua. Saya jadi belajar tentang cara
membangkitkan semangat, belajar tetap tenang dalam mengelola kecemasan dan
kekhawatiran. Semakin bersyukur memiliki suami yang luar biasa pengorbanannya.
Sedangkan suami belajar lebih sabar merawat
orang sakit dan merawat bayi kami. Ia jadi lebih berani dengan darah. Lebih dekat dengan anak-anak.
Anak-anak Alhamdulillah juga lebih mandiri
dan tidak tergantung pada uminya dalam beberapa hal. Walaupun dalam beberapa
hal lain tetep saja masih ketergantungan. Karena bagaimanapun mereka masih
anak-anak.
Terima kasih Ya Rabb Engkau masih ijinkan
aku bertemu dengan siangmu. Semoga semakin bersinar cahayanya. Cahaya penuh
keberkahan. Kini giliran kami melanjutkan episode kehidupan kami berikutnya tuh
raih keberkahan Ramadhan.
Tahun ini saya menikmati Ramadhan dengan
cara yang berbeda. Semoga ridha dengan sakit yang diberikan Allah. Semoga tetap
bisa melakukan amalan sholih di sela-sela sehatnya. Semoga bisa menjadi penggugur dosa saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar