Follow Us @soratemplates

Rabu, 23 Mei 2018

Semakin Pekat Malam Semakin Dekat Siang


Tradisi menyambut Ramadhan di kampung halaman saya biasanya diadakan acara Nyadran. Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa Tengah, termasuk kabupaten Wonosobo tempat saya tinggal.

Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam, tabur bunga dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam. Biasanya beberapa warga diminta menyediakan konsumsi berupa nasi megono, ingkung ayam jago dan tempe kemul serta teh manis hangat.

Saya sendiri belum pernah ikut karena biasanya bapak-bapak yang ikut serta. Setelah acara bersih makam bapak-bapak dipersilakan untuk makan bersama. Nasi dan lauk ditaruh di atas lembaran daun pisang yang membentang sepanjang jalan menuju makam.

Suami saya sendiri agak hati-hati dalam mengelola niat khawatir terjerumus dalam perilaku syirik. Jadi sejak dari rumah diniatkan untuk membersihkan makam dalam rangka mengingat kematian. Meyakini bahwa setiap manusia pasti akan mati sehingga perlu berbekal amal sebanyak-banyaknya.

Akan tetapi tahun ini suami tidak bisa ikut acara Nyadran tersebut karena harus menemani saya yang terbaring opname di rumah sakit. Kebiasaan beliau pergi ke makam almarhumah ibu pun tidak beliau tunaikan karena tidak tega meninggalkan saya yang sedang sakit. Saya pun tidak bisa merayakan tradisi menyambut Ramadhan yang lazim di kampung saya.

Pagi itu benar-benar semangat saya berada pada titik terendah yang pernah saya punya. Bahkan hampir saja melewati ambang batas standar semangat yang saya tetapkan. Kenapa coba?

Mungkin di kehamilan keempat ini rasa bahagia saya berlebihan. Lebay plus hiperbola banget suasana hati ini. Bagaimana tidak?

Hamil sampai lewat hpl pun Alhamdulillah sehat bisa wira wiri naik motor kemana-mana.
Pasca melahirkan cesar pun cepat sekali pulih dibanding 3x persalinan normal sebelumnya. Bisa mondar mandir melayani tamu yang datang ke rumah. Bisa gendong si kecil walau bekas jahitan belum kering benar.

Hingga pujian tentang kesehatan datang bergulir dari suami, orang tua, keluarga besar dan sahabat yang tahu benar kondisi saya setiap habis melahirkan normal pada persalinan sebelumnya. Rata-rata dari mereka mengucapkan :"Alhamdulillah persalinan cesar malah kamu lebih sehat ya". Ternyata pujian itu justru menggelincirkan dan melenakan saya.

Euforia itu pun diperparah dengan datangnya saya ke sebuah pelatihan di hari ke 20 pasca saya melahirkan. Kemudian beberapa hari berikutnya datang di sebuah ifthar atau buka bersama dengan membawa adik bayi. Lalu belanja ke pasar dan antar jemput anak ke sekolah.

Saya terkejut ketika teman saya menasehati saya dengan serius. Ia duduk mendekati saya dan berkata "Dik kata orang tua tidak baik lho pergi-pergi sebelum 40 hari". Tatapannya begitu tajam dan makjleb di hati saya. Walaupun itu mitos tapi para orang tua itu punya ilmu titen berdasarkan pengalaman hidup mereka.

Awalnya saya menganggap itu mitos. Tapi setelah dipikir ada benarnya juga. Mungkin maksudnya ketika waktu awal-awal persalinan badan ibu masih ringkih jadi dilarang pergi-pergi khawatir sakit. Daya tahan tubuh juga belum prima. Orang tua melarang mungkin itu alasannya.

Saya tetap berfikiran positif. Semoga saya sehat... saya sehat… Alhamdulillah.
Nah, ternyata terbukti. Prasangka Allah dekat dengan prasangka hambanya ya. Dan saya dikonyo-konyo oleh teman saya itu karena saya kemudian sakit parah.

Setelah akhirnya saya mendekam di bangsal datanglah sahabat saya yang cantik dan sholihah.
Dan saya di "konyo-konyo" oleh sahabat saya di rumah sakit. Di satu sisi dia marah karena saya "kewanen dan kepedean" di sisi yang lain juga melas lihat wajah pucat pasi saya.

"Kok bisa opname lagi tho dik. Mbok dijaga sendiri tho. Gemes aku karo dik puji ki. Sing butuh dik puji ki akeh. Kalau sakit gini repot kabeh tho?, ini salah satu bentuk saya di konyo-konyo oleh beliau.

"Iya mbak maaf. Sebenarnya aku kesini cuma mau periksa aja nggak pengin opname. Kupikir maagh aja sakitnya. Terus aku mau minta suntik anti nyeri dan minta obat maagh terus pulang. Wong mbah buyut jogja lagi datang ke rumahku", jelas saya membela diri (wong ki ngene ki nek ra gelem disalahke hawane arep indho...hi..hi..indonesia kali)

"Lah terus kok bisa hasil laboratoriumnya typus dan demam berdarah?, tanya beliau memberondong.
"Aku juga kaget mbak. Mungkin kecapekan mbak", bela saya lagi.

Dan sorenya tangan yang dipasang infus membengkak. Padahal di IGD lama sekali mencari pembuluh venanya.

"Ibu jarang olahraga ya?", kata perawat mengagetkan saya yang sedang menggigit bibir menahan perih dan panasnya ulu hati. Seperti sembilu yang mengiris-iris lambung dan akhirnya muntahpun tak terelakkan.

Ternyata ketahuan kalau saya jarang olahraga. Dah diborong suami semua yang cinta banget sama olahraga sampai-sampai saya nggak kebagian. He..he…padahal malas olahraga. Buktinya tiap hari ahad mesti di ajak olahraga ke taman fatmawati tapi ya ada aja alasannya. Ini salah satu sifat malas yang terakumulasi dan akhirnya membuat daya tahan tubuh tidak kuat dan mudah ambruk pertahanannya.

Karena tangan kanan bengkak maka perawat berencana memindah infus ke tangan kiri. Entah kenapa malam itu sakit perih dan panas di ulu hati semakin menjadi.Saya sesak napas. Hingga perawat meminta saya tarik nafas panjang tetap saja saya tidak bisa.

Semakin saya ingin menahan sakit justru semakin sakit. Saya cemas dan keringat bercucuran. Dan akhirnya kram perut tak terelakkan, datang lagi. Saya pegang tangan suami dengan erat untuk mencari kekuatan sambil istighfar dalam hati.

Perawat mencoba menenangkan setelah saya berkali-kali kram perut. Mereka berusaha memasang infus di tangan kiri saya. Dan mengolesi trombopob di tangan kanan saya yang sudah terlanjur bengkak.

"Ibu tenang ya, jangan panik. Yuk ambil nafas panjang saya bantu ya. Nanti pembuluh vena semakin tidak terlihat kalau ibu cemas dan kesakitan seperti ini", kata perawat dengan lembut.
Dan 4 perawat pun gagal menginfus. Akhirnya semalaman infus tidak terpasang dan mereka berlalu dari kamar saya dengan menarik nafas panjang.

"Sekarang istirahat dulu. Sudah saya suntik anti nyeri semoga besok pagi bisa dipasang infus setelah ibu tenang", hibur perawat kepada saya.

Lalu beberapa jam kemudian tiba-tiba tubuh saya menggigil hebat. Gigi-gigi saya mengeluarkan bunyi gemerutuk tidak bisa dikendalikan. Panas pada typus dan DB mengalami puncaknya di angka 39,8 derajat celcius. Perawat mengambil termometer dari ketiak saya kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

Malam itu juga perawat memberi paracetamol. Lalu bagaimana kondisi paginya setelah diberi paracetamol? Alhamdulillah mulai turun panasnya di angka 38,5 derajat celcius. Tapi nyeri di ulu hati menjalar ke seluruh perut. Semalaman suami saya tidak tidur menjaga saya. Kasihan betul suami saya.

Perawat pun kemudian berhasil menginfus di pagi harinya walaupun memakan waktu hampir 1 jam. Belum pernah selama ini saya dipasang infus. Biasanya tinggal cus jadi dech. Nih kata perawat sulit sekali mencari pembuluh vena.

Setelah terpasang keluhan baru muncul. Efek luka di usus sehari diare sampai 23x. Hari berikutnya 14x. Alhasil lemas lah badan. Apakah cukup sampai sini sakitnya? Ternyata tidak. Mungkin Allah ingin menguji saya kembali.

Maagh, Typus, Paru-paru basah dan Demam Berdarah bersatu melawan saya. Betul-betul konspirasi yang cantik sekali. Sayang seribu sayang pasukan antibodi saya jumlahnya disamping sedikit tidak kuat pula. Sesak nafas tiada henti walaupun sudah dipasang oksigen menambah kekhawatiran suami saya.

"Ibu punya jantung? Kok nafasnya nggak normal gini nanti rekam jantung dan rontgen ya!", perintah dokter kepada perawat saat kunjungan.

"Sebenarnya nggak punya dok, cuma pasca melahirkan anak ketiga kemarin mengalami pembengkakan jantung. Sakitnya dari depan nusuk sampai ke punggung", jawab saya sambil ngos-ngosan karena nafas terasa begitu pendek.

Hasil jantung normal tapi hasil rontgen ternyata ada bronchitis alergica yang sudah ada cairannya dalam paru-paru. Dokter menyebutnya paru-paru basah.

"Ibu suka tidur di bawah? Nih paru-paru basah bu makanya ibu sesak nafas seperti ini. Ada cairan di paru yang harus dikeluarkan!", kata dokter dengan ramah

Glek..glek..pikiran saya terbang dan teringat jaman tinggal di jogja memang sering tidur di bawah. Ketika kuliah saya juga tidur di bawah terus karena panas. Lalu didiagnosa bronchitis, saya beli dipan untuk tempat tidur.

Terulang lagi pasca anak pertama saya jatuh dari tempat tidur di usia kira-kira 8 bulan. Sejak itu tidur di bawah lagi khawatir anak jatuh kembali. Tapi kalau sampai paru-parunya basah karena ada cairan ya baru kali ini. Jadi agak kaget. Untuk sementara diberi obat dan cairan dibuang lewat urine.

Monggo yang masih suka tidur di bawah segera bertobat. Cukup saya saja ya korbannya. Ketika muda memang belum terasa efeknya. Tapi kalau udah tua seperti saya ini baru menyesal. Hiks...hiks..

Melihat saya sakit, suami berusaha melakukan berbagai cara untuk mengurangi rasa sakit saya. Mulai dari memijit pinggang, mengolesi minyak kayu putih di perut, mengurut punggung, mengurut dada agar bisa bernafas panjang dan membantu saya tetap berdzikir.

Suami tak henti-hentinya menasehati saya, “Perbanyak istighfar umi. Semoga sakit ini jadi penggugur dosa. Mungkin dosa umi banyak dan hanya dengan sakit ini bisa terhapus”.

Dalam hati saya mengiyakan nasehat suami. Tapi memang baru kali ini sakitnya luar biasa. Beberapa kali typus kambuh tidak sampai kram perut. Ini setiap perut sakit dan saya berusaha melawan sakitnya tiba-tiba kram perut lagi, ditambah diare pula.

Hari ketiga semua obat diganti dan dinaikkan dosisnya. Inilah yang menjadi penyebab saya tidak diijinkan dokter memberi ASI karena seluruh obat dosisnya tinggi dan membahayakan buat bayi.

Hasil pumping di kulkas rumah sakit pun terpaksa dibuang. Sedangkan stok di rumah sudah habis. Nangis bombai dech...terbayang adik bayi di rumah minum susu formula.

Setelah dosis dinaikkan Alhamdulillah membaik. Nyerinya sedikit berkurang dan tidak kram perut lagi. Trombosit masih turun tapi demam sudah berkurang. Syukur Alhamdulillah.

Di hari ke-5 muncul keluhan berikutnya. Jahitan bekas operasi cesar muncul nanah kecil. Padahal sebelumnya sudah kering dan bagus. Mungkin karena berkeringat terus lembab dan infeksi. Nah upaya mengeluarkan nanah dan darah ini yang bikin saya harus pegangan ujung kasur kiri dan kanan.

Perawat memencet-mencet hingga cairan habis keluar. Kemudian dibersihkan dan ditaburi antibiotik. Alhamdulillah perawatnya cantik, baik dan sabar. Jadi sedikit membuat malu kalau saya sampai mengerang kesakitan.

Nasehat buat para perawat ya...jadilah perawat yang baik dan ramah. Karena keramahan anda sedikit mengurangi rasa sakit kami. Bayangkan jika perawatnya galak, ketus, tidak ramah dan selalu menyalahkan. Sakit yang tidak seberapa bisa menjadi semakin parah.

Perawat kemudian memberi injeksi anti nyeri 3x sehari. Injeksi untuk anti nyeri memang lebih pekat sehingga efeknya agak pegel. Tapi lumayan meredakan sakit. Jadi saya tahan sakitnya karena rindu efek dahsyatnya. Sungguh Allah Maha Penolong.

Malamnya tangan bengkak lagi dan harus pindah infus lg ho...ho...nikmat sekali. Perawat menawarkan infus di kaki karena kedua tangan sudah penuh dengan bekas suntikan baik infus maupun suntikan untuk sample darah cek trombosit.

"Suster coba dicari lebih teliti lagi di punggung tangan ya!, pinta saya. Nggak kebayang kalau di kaki gimana bolak balik ke kamar mandinya. Alhamdulillah ketemu di punggung tangan. Plong...rasanya.

Saat visit dokter saya meminta ijin pulang hari itu juga karena merasa sudah mendingan. Dokter belum mengijinkan dan harus opname 1 hari lagi.

"Paket antibiotiknya masih 1 hari lagi ibu, terus ibu sambil latihan lepas oksigen ya masih sesak nafas tidak?, saran dokter pada saya.

Alhamdulillah hari ke-6 pun tiba. Tangan infus membengkak lagi. Saya minta perawat untuk melepas saja karena optimis sorenya diperbolehkan pulang. Thypus akut memang agak lama penyembuhannya. Dulu sampai 2 bulan recovery.Yang penting sudah tidak mimpi Rian Thamrin lagi. Dokter yang meninggal akibat sakit typhus. He..he..


Alhamdulillah sore harinya sudah boleh pulang dari rumah sakit tinggal penyembuhan di rumah. Dokter memberi obat dengan dosis lebih rendah agar aman untuk ibu menyusui.

Nah ternyata terbiasa disuntik anti nyeri dosis tinggi kemudian tidak sungguh berbeda rasanya, Perut masih terasa sakit ketika kambuh walaupun sudah diberi obat anti nyeri.

Efek obat diare juga membuat sembelit beberapa hari. Dan tahu sendiri kalau sembelit muncul penyakit baru yang membuat saya menangis ketika keluar kamar mandi.
“Ya Allah ujian apalagi ini”, gumam saya dalam hati.

Perut saya kembung. Setiap mau buang gas, BAK, BAB, sendawa dan menguap sakitnya luar biasa. Hanya bisa istighfar dech.Ternyata muntah dan diare berlanjut di rumah dengan tingkat sakit yang melebihi ketika di rumah sakit. Setiap minum dan makan langsung muntah lagi.

Belum lagi yang momong sakit dan tidak bisa menginap. Malamnya saya harus begadang dengan menahan sakit yang luar biasa demi merawat adik bayi. Suami alhamdulillah siaga kecuali jam dini hari. Tidak kuat menahan kantuk.

Paginya bisa ditebak muntah dan diare semakin parah. Sampai adik bayi nangis saya biarkan karena bener-bener tidak kuat bangun. Saya hanya nungging menahan sakit.

Dari kondisi inilah saya benar-benar telah kehilangan semangat saya. Saya merasa hampir saja putus asa. Saya kemudian minta maaf satu per satu kepada keluarga. Pertama, saya panggil syahida, anak tertua saya ke kamar

"Mbak Sya,  Umi minta maaf ya banyak salah sama mb sya, sering marah-marah, sering nggak ngertiin mbak sya, sering nggak nemenin mb sya. Mb sya mau maafin umi?", kata saya lirih

"Iya mi. Mb sya maafin. Aku juga minta maaf sering nggak nurut sama umi, umi jangan bilang gitu mi. Umi harus kuat. Aku masih butuh umi", teriak mb sya disusul pecahnya tangis.

"Mb sya anak pertama jaga adik-adik ya. Jangan bertengkar, main yang rukun jangan berebut. Jangan saling ejek ntar menimbulkan kebencian", kata saya sambil memejamkan mata menahan sakit di perut yang melilit.

"Umi..aku janji nanti kalau umi sehat aku nurut sama umi. Nggak marah-marah lagi wis. Tapi umi harus semangat sehat mi. Umi nggak boleh ngomong gitu!, tangisnya pun semakin keras.

"Umi yang sakit sebelah mana sekarang, aku olesi minyak ya?, tawarnya dengan sesekali menyeka air mata

Saya yang ditanya cuma menunjuk ke arah perut. Diam tanpa suara. Gigi bawah menggigit bibir atas sebagai tanda menahan sakit. Entah kenapa pijitan dari tangan kecilnya begitu enak dan pas sekali. Mengalahkan pijitan suami dan budhe.

Dia selalu bereksperimen dengan pijitannya. Kadang dari atas ke bawah. Saya merasa nyaman. Kadang dari samping kanan kiri menuju pusar. Sangat mengurangi rasa sakit. Padahal cuma di elus-elus.

"Panggilin fachri mbak!", pinta saya padanya.

Anak ketiga saya ini periang. Dia sedang bermain bersama teman-temannya. Bersenda gurau di depan rumah. Lalu datang ke kamar memanggil saya.

"Kenapa umi?", teriaknya. Mungkin belum begitu paham kalau uminya sakit.
"Mas fachri umi minta maaf ya sering marah-marah sama mas fachri. Mas fachri janji jadi anak yang sholih ya. Jangan tinggalkan sholat ya!", pesan saya padanya.

Paham atau tidak dia mengangguk lalu seolah-olah menahan air mata untuk keluar. Kemudian mendongak ke atas untuk memasukkan air matanya lagi. Bibirnya berubah melengkung pertanda menahan tangis.

"Nih mas Fachri dah sholat dhuhur belum?, tanya saya lirih mendekat ke telinganya

Dia yang sedari tadi memijit-mijit tangan saya lalu berlari untuk sholat. Saya lihat dia lupa wudhu dan langsung sholat. Tapi biarlah saya lagi berhemat suara untuk tidak berteriak menegurnya.

Dari balik pintu yang terbuka sedikit, saya lihat dia komat kamit baca doa. Kamar tempat dia sholat berhadapan dengan kamar tempat saya berbaring. Saya berharap dia mendoakan saya.

Setelah itu, tiba-tiba perut ini perih. Cenuuuuuutttttttt. Kalau saya sudah istighfar berkali-kali mb sya hafal berarti sakitnya umi lagi datang. Segera ia ambil minyak lalu dibukanya baju saya dan langsung dioles-oleskan ke perut saya.

Setelah sedikit reda saya tanya, "Mbak Sya capek mijitin umi?, tanya saya setelah kira-kira 15 menit memijit.
"Enggak mi. Aku semangat. Aku nggak capek. Aku cuma pengin umi sembuh. Umi melek ya mi jangan ngomong sambil merem. Aku takut", katanya dengan cemas
"Umi juga pengin melek mbak. Tapi mata umi pedes banget buat melek mbak. Mata umi dah mirip kayak panda dan berkantung ya mbak?, tanya saya. Tapi tak memperoleh jawaban dari yang saya tanya.

"Umi aku dah sholat, aku boleh main?", tanya mas fachri tiba-tiba.
"Fachri, umi kan lagi sakit. Mbok bantu mbak mijitin", suruh mb sya pada adiknya
"Nggak apa-apa mbak. Dia belum paham. Tahunya baru main. Tapi dah lumayan tadi disuruh sholat langsung sholat. Biasanya jawabnya nanti atau bentar lagi mi.", jelas saya

"Daffa mana mbak? Umi juga mau minta maaf sama daffa", tanya saya yang secara tersirat adalah menyuruhnya pergi untuk mencari.

Anak no 2 ini memang spesial. Suka sekali berpetualang dan melakukan hal-hal yang terlalu berani dilakukan anak seusianya. Pantas saja saya memiliki kekhawatiran tingkat tinggi kalau memikirkannya. Seringnya menambah produksi asam lambung meninggi pula.

"Sabar umi, dia nanti akan jadi pemimpin yang pemberani. Biarkan dia berpetualang dulu. Sabar..sabar dan sabar kuncinya", itu nasehat suami setiap kali saya laporan tentang "keanehan" yang dia lakukan. Bahkan pernah saya ingin membawanya ke psikolog. Tapi suami melarang dan menyarankan agar saya saja yang terapi ke psikolog. Diikuti tawanya yang renyah. Mengejek.

Benar pula dugaan saya, dia pulang dengan baju kotor, keringat bercucuran dan sedikit bau. Kakinya basah bercampur lumpur.

"Masuk kamar mandi lalu mandi", kata saya lirih dan pendek. Saya tidak ingin memperpanjang nasehat apalagi jika nasehat itu semakin panjang biasanya membuka ruang bagi dia untuk mencari alasan.

Biasanya saya mengawasinya mandi untuk memastikan bahwa dia mandi dengan bersih. Tapi sekarang tidak bisa. Semoga saja arahan dan petunjuk mandi sebelumnya dia ingat. Sehingga bisa mandi dengan bersih.

Alhamdulillah beberapa sakit sudah berlalu pergi. Tinggal thypus dan infeksi di jahitan cesar ini yang membuat badan terasa tidak nyaman. Rasa nyaman ini juga karena badan terasa lemah, nyeri otot, letih, lesu dan tidak punya gairah serta semangat.

Saya merasa sangat mudah lelah padahal saya tidak melakukan aktifitas apa-apa. Hanya baring di tempat tidur ternyata capek sekali. Setiap minum dan makan kemudian disusul muntah membuat saya enggan minum dan makan. Bahkan melihatnya pun sudah membuat saya mual.

Kepala pun semakin pusing dan berat karena perut kosong. Kadang pusing ini muncul tapi setelah minum obat hilang rasa nyeri di kepala. Kemudian mendadak datang lagi. Yang membuat saya memilih untuk memejamkan mata dan istighfar. Lalu tertidur.

Dahulu setiap kali thypus kambuh sakitnya ada di perut sebelah kiri. Tapi entah kenapa sakit perut yang datang ini hampir menjalar dari sisi perut sebelah kiri, tengah dan kanan. Sakit perut seperti ditusuk-tusuk.

Peradangan pada usus halus oleh bakteri salmonella typhi ini sangat mengganggu kinerja usus dalam mencerna makanan. Sehingga muncul respon tubuh berupa diare atau sembelit.

Dua hari setelah pulang dari rumah sakit saya sembelit. Tapi setelah itu diare lagi. Yang bisa saya lakukan hanya minum oralit yang dibuat budhe sebanyak-banyaknya untuk mencegah dehidrasi. Walaupun beberapa menit kemudian saya akan meminta plastik. Huek...huek...

Penderita thypus seperti saya ini jika sudah akut pasti akan mengalami penurunan nafsu makan. Ini karena yang diserang adalah organ pencernaan. Mulut terasa pahit. Lidah putih dan menebal. Ditambah mual pula. Semakin menambah hilangnya nafsu makan.

Tetapi saya tetap makan bubur sumsum walau hanya beberapa sendok teh. Budhe membuatkan bubur sumsum setiap hari dipadu dengan gula aren yang dicairkan. Sayur dan laukpun di blender. Makanan harus bertekstur lembut. Itupun sakit ketika melewati usus. Tapi saya menahannya. Tetap makan saja.

Memaksa makan dalam keadaan tidak bernafsu itu tidak mudah. Tapi tetap saja harus makan walau setiap satu sendok berhenti. Kemudian butuh waktu lagi untuk memulai mengayunkan sendok dari piring ke mulut. Demi ASI.

Pernah ada sedikit wortel yang belum lembut diblender dan saya memakannya membuat perut bertambah perih. Ini karena saya telah memperberat usus yang telah radang. Sehingga wortel yang besarnya seujung kuku saja bisa berasa menusuk perut.

Pernah juga tahu yang diblender diberi bumbu tumbar wah pedasnya terasa sekali di tenggorokan dan cenuuut di perut muncul kembali. Sakit seperti ini sangat sensitif terhadap rasa pedas sedikit apapun.

Oleh karena itu, penderita typus memang sebaiknya menghindari makanan yang pedas dan asam karena akan menyebabkan infeksi bertambah parah. Infeksi bakteri ini bersifat toksit sekaligus mempengaruhi kinerja jantung saya dimana denyutnya menjadi lebih lambat.

Ini pula yang membuat kondisi tubuh saya mudah lelah karena pasokan nutrisi ke seluruh jaringan menjadi berkurang. Oleh sebab itu ketika di rumah sakit perawat selalu memantau denyut nadi dan tekanan darah saya.

Perawat tampak khawatir ketika tensi darah saya 70/30. Saya kurang tahu denyut nadi berapa karena mata saya kabur melihat angka yang tertera di alat yang dijepit di jempol saya itu.

Kata perawat mereka memang harus sebentar-sebentar mengecek denyut nadi dan tekanan darah saya. Mereka mengeceknya agar saya jangan sampai ngedrop karena bisa berpotensi menimbulkan syok.

Setiap melihat cermin di kamar saya menjulurkan lidah. Saya mengecek apakah masih putih tebal ataukah sudah berkurang. Memang, proses terjadinya inflamasi pada penyakit thypus menimbulkan ciri yang khas yaitu lidah yang kotor atau berwarna putih. Sangat mencolok perbedaannya dengan lidah orang sehat. Bagian pinggir lidah masih berwarna merah. Tapi bagian tengah lidah berwarna pucat atau putih. Bagian tengah lidah juga terasa tebal. Kadang saya garuk pakai sikat gigi

Budhe tiba-tiba berlari setelah mendengar teriakan takbir saya. Pertanda sakit itu kembali datang menyerang. Tanpa disuruh, ia langsung memencet pinggang saya untuk mengurangi rasa sakit.

Saya sudah pernah mengatakan padanya bagian pinggang yang harus ditekan pelan pelan untuk mengurangi rasa sakit. Jadi ia paham betul.

"Budhe, saya minta maaf ya kalau selama ini banyak salah sama budhe. Mungkin pernah menyinggung budhe atau berkata-kata kasar.", pinta saya padanya

"Ampun sanjang kados niki tah mbak mboten ilok (Jangan bilang begitu mbak nggak baik), jawabnya disertai air mata yang berlinang. Namun, ia buru-buru menyekanya.

"Budhe mau maafin saya kan?", tanya saya kembali untuk meyakinkan
"Inggih mbak", tangisnya semakin menjadi.

Disitu saya merasa ringan sudah minta maaf sama anak-anak dan budhe. Seperti leganya seseorang setelah melunasi hutangnya. Merekalah yang paling sering berinteraksi dengan saya setiap hari lebih banyak daripada orang lain. Tentu kesalahan saya paling banyak kepada mereka.

Kami memanggilnya budhe. Orang yang sangat berjasa membantu saya sehari-hari. Ia bekerja di rumah saya sejak 2012 sewaktu anak ketiga kami lahir. Jadi hampir 6 tahun ia bekerja pada kami.

Saya memanggilnya budhe karena usianya setara dengan usia ibu saya. Juga membiasakan kepada anak-anak bahwa budhe adalah keluarga kami.
"Budhe yang sabar ya sama anak-anak. Anak-anak saya memang makan dan mandi agak susah. Budhe yang sabar ya!, kata saya terbata-bata sambil sesekali teriak takbir tanda perut sakit.

"Sampun tah mbak mangkih tambah sakit nek mikire macem-macem. Pun damel sare mawon (Sudah lah mbak nanti tambah sakit kalau berfikir macam-macam. Sudah buat tidur saja)", nasehatnya begitu lembut di telinga. Sesekali isak tangisnya terdengar di telinga saya walaupun saya terpejam.

Dua hari ini kondisi terparah dari sakit yang saya alami. Sehingga muncul perasaan cemas yang berlebihan yang justru meningkatkan asam lambung. Saya kemudian menyuruh mbak sya memanggil abinya.

"Minta tolong panggilkan abi mbak. Umi mau minta maaf juga sama abi. Mana tahu bisa mengurangi rasa sakit umi", pinta saya pada si sulung yang sabar merawat saya.

Suami datang dan masuk ke kamar tepat ketika saya mengerang kesakitan dan beristighfar pelan.
"Umi minta maaf ya bi selama ini banyak sekali salah umi sama abi. Terima kasih selama ini sudah merawat umi dengan sabar.", pinta saya sambil menggigit bibir menahan sakit.

Beliau mengiyakan kemudian mengelus-elus perut saya yang sakit. Kemudian ke dada saya yang nafasnya tersengal-sengal.
"Umi benar-benar kehilangan semangat. Rasanya tidak bisa menggerakkan badan, lemah sekali. Umi merasa menjadi orang yang tidak berguna. Melihat anak-anak kesulitan membuat topi untuk tarhib ramadhan cukup membuat umi sedih. Biasanya umi membantu browsing gambar lalu membantu membuatkan untuk mereka. Mereka sudah membuat daftar benda yang mau dibeli. Tapi umi tidak bisa mengantarkan mereka. Rumah seperti neraka. Mbak sya teriak-teriak menegur adiknya yang berisik. Padahal umi paling tidak suka ada anggota keluarga kita teriak-teriak. Terus Daffa dan fachri bertengkar umi tidak bisa melerai dan berujung salah satu nangis karena kesakitan akibat berkelahi. Umi dah teriak tapi seolah-olah mereka nggak mendengar teriakan umi. Mainan, buku dan tas begitu berantakan di lantai. Handuk dan baju kotor nyantel di kursi-kursi. Pengin membersihkan tapi nggak kuat.Budhe sampai sakit karena selama umi tinggal dirumah sakit dede' bayi nangis terus, sampai budhe nggak bisa tidur. Akhirnya kecapekan tiap malam begadang. Umi hampir 3 minggu terbaring di atas kasur. Kadang mendengar tangis Nafisa pun tidak bisa menggantikan popoknya. Nunggu budhe datang kalau ia dengar. Di rumah kok rasanya penyakit umi semakin parah dibanding di rumah sakit. Lalu pagi ini dengan durasi muntah tanpa jeda membuat umi hilang semangat. Beri umi nasehat bi biar umi semangat lagi melawan sakit ini!", kata saya sambil menangis

Tangannya yang sedang mengelus-elus dada saya untuk membantu pernapasan saya tiba-tiba berhenti tepat di dada.
"Umi yang namanya penyakit itu sembuhnya bukan dari obat. Tapi dari keyakinan pada Allah. Sakit itu datangnya kadang begitu cepat dan kadang bersamaan dengan penyakit lain. Akan tetapi, ada beberapa penyakit yang sembuhnya agak lama. Umi kan tahu penyakit umi itu cuma satu dari dulu yaitu typhus. Umi pernah melaluinya kan. Umi pernah berhasil mengalahkan penyakit ini paling cepat 1 minggu dan paling lambat 3 bulan. Jadi sebenarnya umi sendiri tahu cara mengatasinya. Yang dibutuhkan hanya semangat yang tinggi untuk melawannya. Jangan bergantung pada orang lain. Abi sifatnya hanya membantu umi itu motivasi eksternal. Nah yang paling dominan mempengaruhi kesembuhan itu motivasi dari internal umi sendiri. Sudah berhari-hari pekerjaan abi menumpuk terbengkalai. Seminggu persis abi di rumah sakit menemani umi. Lalu sudah seminggu lebih abi menemani umi juga di rumah. Kalau umi sakit terus seperti ini abi nggak bisa kerja-kerja. Dalam pikiran abi kalau abi berangkat ntar siapa yang bantu angkat umi ke kamar mandi, siapa yang bantu mengelus-elus perut umi ketika kambuh, siapa yang membantu umi beli obat ini beli obat itu. Sekarang umi harus semangat kayak biasanya itu. Kasihan anak-anak terutama nafisa dia butuh banget umi. Kalau umi sehat umi harus janji untuk rajin olahraga dan menghindari makanan-makanan yang dilarang sedikit apapun. Itu saja kelemahan umi. Ayo umi harus semangat!", begitu katanya sambil mengangkat kedua tangannya yang mengepal. Giginya yang putih dan rapi serta senyumnya yang lebar tak kuasa menahan saya untuk tersenyum pula.

"Nah gitu dong senyum. Dua minggu lebih abi tidak melihat umi tersenyum. Gimana lebih enakan sekarang?, tanyanya sambil mencubit pipi saya yang mulai tidak chubby lagi

Nasehat suami begitu cess terdengar di telinga. Saya sering heran sama satu orang ini. Stok semangatnya begitu besar. Jarang terdengar keluhan padahal begitu banyak amanah yang ia emban.

Dia paling sering mengajak saya olahraga tiap hari Ahad. Tapi saya selalu punya banyak alasan yang capek lah, mumpung libur lah, bentar lagi ada acara butuh persiapan lah atau mending milih nyiapin sarapan.

Kadang anak-anak mau diajak kadang juga tidak mau. Dia pun berangkat olahraga sendirian. Makan kadang cuma 2x sehari tapi kok nggak kena maagh kayak saya ya. Saya terlambat 1 jam saja dah melilit. Makanan apa saja bisa ia makan sedangkan saya begitu banyak makanan yang harus saya pantang. Mulai dari ketan, santan, pedas, asam, sayuran bergas seperti kobis, sawi, kol. Sampai lupa karena saking banyaknya.

Dia begitu heran melihat obat-obatan yang saya konsumsi. Mulai dari obat dokter yang segepok, obat herbal, obat cacing, pati erut, kunyit madu.

Pernah ia sakit lalu periksa ke dokter kemudian dia taruh aja obat tersebut di dapur. Kolesterolnya cukup tinggi. Waktu saya tanya kok obatnya nggak diminum. Dia jawab besok dia akan lari minimal 10 putaran mengelilingi taman fatmawati InsyaAllah kolesterol turun. Dan saya menghitungnya 11 putaran.

Kemudian dia kurangi makanan bersantan dan berlemak. Maklum tiap hari di traktir klien jadi kadang lupa diri makan yang enak-enak. Padahal di rumah ya telur campur tomat dah poll senenge. Dan cek lagi kolesterol dah turun. MasyaAllah.

Memang saya ingat kadang semangat saya itu tinggi jika saya bisa bermanfaat untuk orang lain. Baik untuk keluarga ataupun sahabat. Jadi ketika saya sakit dan merepotkan banyak orang saya menjadi tidak berharga. Semangat kendor.

Sejak nasehat itu dilontarkan kepada saya. Tiba-tiba semangat saya bangkit lagi. Seperti hp yang habis di charge 100 % full. Saya yakin bahwa kesembuhan itu datangnya dari Allah kita harus senantiasa memohon kepadaNya dan kita harus semangat untuk berikhtiar semaksimal mungkin semampu kita.

Setelah saya mengangguk-angguk sendiri pertanda memantapkan hati untuk semangat sembuh. Tiba-tiba rasa sakit itu datang menusuk.
"Abi keluar kamar ya, umi ingin melawannya sendiri tanpa pijitan dan minyak", pinta saya sambil meringis

Suami saya kelihatan tidak tega tapi ia tetap keluar dan menutup pintu. Saya kemudian meletakkan tangan kanan saya di atas perut. Kemudian mulut terus berdzikir dan menatap jam di dinding yang berdetak begitu kencang.

Ternyata kurang dari 1 menit lalu sakit itu hilang. Saya tarik nafas panjang lewat hidung lalu saya tahan sebentar dan saya keluarkan lewat mulut dengan mengeluarkan suara desis. Teknik ini saya dapat di kelas senam hamil. Alhamdulillah berhasil. Ok, saya menemukan satu cara melawan rasa sakit itu. Yess! Alhamdulillah Ya Rabb.

Hari itu saya benar-benar seperti orang sehat. Saya meminta budhe membawakan sepiring bubur sumsum. Saya makan begitu lahapnya dan nafsu makan saya bertambah.
"Abi lapor sepiring bubur sumsum habis!, lapor saya pada suami
"Bagus! Nah gitu harusnya. Makan dikit muntah...makan banyak juga muntah. Ya mending makan banyak tho?", candanya yang selalu bisa membuat saya tersenyum walau senyum kecut.

Setelah minum lumayan banyak tiba-tiba suara tangis nafisa terdengar. Dia kelihatan haus sekali. Dan saya mulai menyusuinya walau dengan posisi badan tidur. Saya bisa ke kamar mandi sendiri dengan pegangan tembok. Sakitnya masih sih cuma saya sedikit mampu menahannya.

Kemudian saya duduk di kursi dengan meminta bantal sebagai alas agar tidak sakit. Tahu kan kenapa?

Saya menghabiskan semangkuk jus tahu dicampur sayuran. Rasanya sedikit asin sehingga budhe menambahkan bubur sumsum dan gula sedikit. Penderita typhus sangat peka terhadap rasa. Rasa asin sedikit, pedasnya tumbar dan asamnya pisang begitu tajam di lidah. Dan Alhamdulillah lagi-lagi saya menghabiskannya. Saya memanggil tukang pijit ke rumah. Diurutnya kaki tangan dan punggung yang pegal-pegal ini.

Setelah dipijit dan diurut menggunakan parem badan menjadi hangat dan lebih ringan. Tak terasa 1,5 jam saya tertidur pasca dipijit. Benar-benar nyenyak sekali. Baru kali ini bisa tidur senyenyak ini setelah pulang dari rumah sakit. Mungkin inilah yang dinamakan tidur berkualitas. Bangun dari tidur badan terasa segar. Saya merasa lebih rileks.

Sejak acara muntah-muntah pagi itu lalu diberi nasehat abi. Dan akhirnya kembali semangat saya tidak mengalami muntah lagi. Malamnya pun bisa ngeloni 2 pangeran kecilku yang hampir 3 minggu terabaikan. Fachri memegang tangan saya kemudian minta dipeluk. Mudah sekali tertidur anak ini sebenarnya.

Perut saya tiba-tiba bunyi keroncongan. Suami yang sedang asyik nonton bola saya panggil . Saya minta dibuatkan jenang pati erut campur gula aren.
"Wah malah gagal mi. Kok jadi kental seperti ini ya!, katanya heran
"Justru yang seperti ini yang benar. Kemarin-kemarin yang abi buat itu terlalu encer. Tapi umi minum aja wong abi dah capek-capek buatin", kata saya sambil makan sesendok demi sesendok
"Ealah ternyata produk gagal itu malah yang betul ya?", tanya nya garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal

Kadang kita sering terlena dengan sesuatu yang nampak dari luar. Sepertinya tampak bagus padahal ternyata tidak baik. Sebaliknya sesuatu yang tampak tidak baik justru itu yang benar dan baik buat kita. Semoga kita senantiasa diberi petunjuk oleh Allah agar tetap berada pada jalan yang lurus

Positive thinking bahwa kita mampu, kita bisa, kita kuat menghadapi situasi dan kondisi sulit membuat saya bisa melewati hari itu dengan baik. Walau muntah sudah tidak muncul lagi tapi sakit di perut dan diare masih. Kuncinya kata suami sebut Asma Allah sebisanya. Perbanyak istighfar, manatahu ada dosa-dosa umi yang pernah umi lakukan dan hanya terhapus oleh ridhanya umi terhadap rasa sakit yang umi derita ini.

Lalu saya tambah dzikir saya tiap kali sakit itu datang: Astaghfirullah Ampuni aku ya Allah. Saya ridha saya ikhlas dengan sakit ini. Laa haula walaa quwwata illa billah", lalu lari ke kamar mandi untuk apa tahu kan?

Tak apalah masih ada minuman oralit ala budhe yang rasa dan panasnya pas. Segelas langsung habis. Lalu saya bilang sama diri saya sendiri,
"Hayuk mau pakai cara apa aja pokoknya akan saya lawan. Kamu keluar aku isi lagi...kamu keluar aku isi lagi", gumam saya disusul jari jempol suami yang ditujukan ke arah saya tanda setuju.

Malam itu saya positive thingking:" Harus kuat untuk begadang lagi menyiapkan tenaga lagi demi Nafisa". Dini hari sakit kambuh lagi tapi saya mencoba melawannya. Ditambah tangisan dede' yang keras sekali karena mengompol dan haus membuat semakin panik.

Popok yang disediakan suami di dekat saya pun habis. Saya panggil-panggil suami yang sudah tertidur pulas tapi tidak mendengar. Pantas saja ia begitu lelah. Jogja-wonosobo bukanlah perjalanan yang singkat. Apalagi perjalanan malam. Jadi wajar kalau ia lelah dan lelap sekali tidurnya.

Saya akhirnya merangkak menuju box bayi untuk mengambil popok dan kembali ke kamar. Infeksi jahitan yang dibersihkan suami sebelum ia pergi tidur ternyata menambah cenut-cenut di perut.

Pagi hari setelah peristiwa malam itu saya memilih tidak terlalu banyak bergerak. Benar-benar di atas tempat tidur. Dan sampai sore ini Alhamdulillah cenut-cenut perih tidak lagi terasa. Tinggal cenut-cenut di jahitan yang infeksi.

Kata ibu saya dulu kalau typhus jangan banyak bergerak ntar bakterinya marah lalu nyerang. Ternyata ada benarnya juga. Kenapa tidak boleh banyak bergerak? Karena jika terlalu banyak bergerak akan membuat suhu badan naik dan kuman akan terus berkembang biak masuk ke dalam darah.

Banyak bergerak juga tidak baik bagi penderita thypus karena sedang mengalami masalah pada ususnya yang sedang ringkih yang membuat makin sakit jika banyak bergerak.

Alhamdulillah yang penting semangat saya sudah pulih kembali menjemput siang yang entah kapan.

Bukan pada sembuh atau tidaknya akan sakit ini. Tapi pada bagaimana kita mengubah mindset kita dalam memandang sakit itu sendiri dari sudut pandang yang positif.

Selalu akan ada hikmah di balik sesuatu bahkan sakitpun ternyata baik bagi kita. Sakit merupakan ujian dari Allah yang diberikanNya semata-mata agar hambanya menjadi lebih baik di hadapanNya.Semoga Allah mengampuni dosa-dosa saya lewat sakit ini.

"Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Kalau Allah mencintai seseorang , pasti Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang ridha menerima cobaanNya, maka ia akan menerima keridhaan Allah. Dan barangsiapa yang kecewa menerimanya, niscaya ia akan menerima kemurkaan Allah (HR Tirmidzi).

Jadi yang penting adalah pada keridhaan kita menerima cobaan yang Allah beri. Ya Rabb masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang menerima ujianmu.

Hari berikutnya kami berangkat control ke rumah sakit.
"Turun berapa kilo bu?", tanya perawat kepada saya sambil senyum.
Kami begitu dekat sehingga pertanyaan itu muncul tanpa ada "rikuh makewuh". Kedekatan kami tumbuh karena seringnya saya periksa di poli kandungan ini.

Informasi tentang jam kedatangan dokter selalu diberikan pada saya sehingga saya tidak menunggu lama datangnya dokter yang mau memeriksa pasien.
Juga katanya saya mirip dengan kakak sepupunya yang pernah ia perlihatkan photonya tempo hari. Bahkan kami berlanjut hubungan jual beli online.

"Turun 5 kg mbak. Kok drastis banget ya mbak kalau sakit thypus!", jawab saya agak kaget. Mak-mak yang lagi diet jangan baper ya. Dan tidak usah mencari tahu tips diet ala saya. Menyakitkan mak. He..he..

Setelah infeksi jahitan dibersihkan dan dipencet-pencet, ditensi dan dicek suhunya, saya kembali duduk di kursi roda.
"Gimana mbak lukanya?", tanya dokter kepada perawat.
"Masih ada dua lubang kecil dok!", jawab perawat

"Ibu... bapak jika dalam seminggu ini luka ibu belum sembuh saya akan mengambil tindakan. Kemungkinan ibu alergi dengan benang jahit yang ada di dalam. Karena luka luar sudah bagus. Saya akan membuang kulit luarnya lalu akan menjahitnya kembali dengan benang sutra yang biasanya tidak membuat alergi.", jelas dokter dengan tatapan serius.

Saya dan suami saling bertatapan lalu sama-sama mengangkat alis kemudian meringis. Saya memijit kepala yang sebenarnya tidak pusing untuk mengurangi kecemasan.
"Kuncinya tenang mi. Tenang...tenang...dan tenang. Anggap aja lukanya itu seperti luka koreng waktu kita kecil..ya!", hibur suami sepanjang perjalanan pulang

"Ingat pesan dokter umi harus semangat makan kalau cuma makan bubur sumsum dan jenang pati ya nggak sembuh-sembuh harus berani makan nasi lembek, sayur dan lauk. Itu akan membantu jaringan kulit cepat sembuh", begitu imbuhnya
"Ya udah sekarang jangan langsung pulang kita mampir warung beli lauk", semangat saya pulih rasanya hilang rasa sakit seketika itu.

Alhamdulillah nikmat sekali makan sore itu. Adem. Walaupun belum bisa ikut shalat tarawih di masjid, saya bersyukur malam menjelang 1 Ramadhan saya sudah mulai membaik kondisinya. Marhaban Yaa Ramadhan.

Alhamdulillah bisa menyiapkan hidangan sahur buat keluarga walaupun tidak selengkap menu tahun kemarin.

"Umi tadi malem tuh tarawih rata-rata satu keluarga berangkat semua. Hana ada bundanya. Wina ada ibunya. Nada juga sama ibunya. Cuma aku yang enggak", keluh si sulung sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya sebagai ungkapan kecewa.

Dia tahu uminya sakit tapi juga iri melihat teman yang lain. Jadi waktu sahur dia manfaatkan untuk curhat sama uminya.

Alhamdulillah semakin banyak nutrisi yang masuk, pelan-pelan saya mulai beraktivitas seperti semula. Menyiapkan sahur bagi keluarga semampunya dengan menu ala kadarnya sudah membuat saya bahagia. Semoga berkah Ramadhan kali ini bisa kami raih.

Membangunkan anak sahur tentu tidak mudah. Bujuk rayu agar mereka bangun bisa jadi kita lontarkan. Bersyukur bagi orang tua yang anak-anaknya sudah mandiri dengan bangun sendiri ketika sahur. Saya masih di posisi berjuang mak. Perlu banyak strategi.

Mungkin karena sahur pertama jadi tidak begitu banyak alasan. Walaupun demikian saya hanya berhasil mengajak sahur anak no1 dan no 3. No 4 ikut bangun dan sahur asi. Khusus anak no 2 ini memang spesial. Sudah berbagai janji hadiah saya tawarkan tetap saja tidur. Ya sudah saya menyerah.

Sahur memang tidak wajib tapi disunnahkan oleh Rasulullah saw bagi orang yang berpuasa. Seperti sabda nabi saw:
"Bersahurlah kalian karena dalam bersahur tersebut terdapat keberkahan".

Oleh sebab itu mak, yuk berusaha keras kita bangunkan anak kita. Makan sahur adalah keberkahan, maka janganlah kita meninggalkannya. Walaupun hanya berupa seteguk air. Karena Allah swt dan malaikatNya bershalawat bagi orang-orang yang bersahur.

"Ya umi kan masih sakit mbak. InsyaAllah umi berangkat kalau udah sehat. Tapi kasihan juga tho kalau dik nafisa ditinggal. Jadi mbak bersabar dulu ya untuk bulan ini shalat tarawih tanpa umi", bujuk saya menenangkan hatinya yang sedang galau.
"Mbak sya beruntung pulang tarawih masih bisa ketemu umi. Bayangkan kecilnya abi mbak. Sejak kelas 2 SD ibunya meninggal, kata saya tiba-tiba berhenti kemudian melanjutkan kalimat lagi

"Sejak kelas 2 SD kira-kira se Daffa ibunya abi dah meninggal. Pulang tarawih tidak ada yang bisa dicium pipinya seperti mb sya nyium umi. Pasti sedih banget kan abi. Jadi walau umi sakit gini mbak sya harus tetep bersyukur ya karena masih bisa ketemu umi", jelas saya berusaha menguatkan hatinya.


"Iya ya mi. Alhamdulillah umi dah mulai sehat ya mi sekarang., katanya
"Alhamdulillah ibarat waktu nih dah habis subuh dan matahari dah terbit di ufuk timur. InsyaAllah sebentar lagi siang terang menderang. Itu artinya umi hampir sembuh dan kita bisa jalan-jalan lagi. Sungguh Allah Maha Penolong. Maha Pengasih dan Maha Penyayang", kata saya dengan mata berbinar terharu bisa melewat masa-masa sulit ini akhirnya.

"Hore jalan-jalan", kata fachri yang sudah menyelesaikan makan sahurnya. Sepertinya ia kangen sudah 1 bulan tidak dibonceng uminya.

Sakit itu ternyata memberikan banyak kebaikan dan hikmah bagi kami semua. Saya jadi belajar tentang cara membangkitkan semangat, belajar tetap tenang dalam mengelola kecemasan dan kekhawatiran. Semakin bersyukur memiliki suami yang luar biasa pengorbanannya.

Sedangkan suami belajar lebih sabar merawat orang sakit dan merawat bayi kami. Ia jadi lebih berani dengan darah. Lebih dekat dengan anak-anak.

Anak-anak Alhamdulillah juga lebih mandiri dan tidak tergantung pada uminya dalam beberapa hal. Walaupun dalam beberapa hal lain tetep saja masih ketergantungan. Karena bagaimanapun mereka masih anak-anak.

Terima kasih Ya Rabb Engkau masih ijinkan aku bertemu dengan siangmu. Semoga semakin bersinar cahayanya. Cahaya penuh keberkahan. Kini giliran kami melanjutkan episode kehidupan kami berikutnya tuh raih keberkahan Ramadhan.

Tahun ini saya menikmati Ramadhan dengan cara yang berbeda. Semoga ridha dengan sakit yang diberikan Allah. Semoga tetap bisa melakukan amalan sholih di sela-sela sehatnya. Semoga bisa menjadi penggugur dosa saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar